Wednesday, January 28, 2009

REDEVELOP PENDIDIKAN KESADARAN LINGKUNGAN

Oleh : Yusep Prihanto


Barangkali tak ada kata yang lebih tepat untuk kita ucapkan kepada diri kita kecuali kata "bebal". Kita sudah terantuk batu bukan lagi satu atau dua kali, tapi berkali-kali, dan kita belum juga menengadah. Tahun 2007 lalu kita katakan banjir besar yang menutupi wilayah kita adalah siklus lima tahunan, namun ternyata banjir besar itu datang kembali tahun 2008. Tak urung Presiden pun ikut merasakan getahnya dan fasilitas se-vital bandara Soekarno-Hatta harus terkena imbasnya. Lalu di awal tahun ini sudah berapa banyak wilayah yang terendam banjir.
Itu artinya musibah banjir bukan lagi siklus lima tahunan, mungkin telah berubah jadi siklus tahunan. Bahkan diprediksi bahwa kehadirannya sudah tak terbatas lagi pada ruang dan waktu, artinya kapan pun dan dengan volume air hujan yang sedikit pun, banjir dapat merendam kawasan tertentu.
Fenomena ini tentu saja sangat mengkhawatirkan bahkan boleh disebut darurat, dan karenanya harus segera di atasi. Bukan mustahil di masa depan tidak hanya Jakarta atau Jawa yang akan tenggelam, tapi juga seluruh negeri ini. Penanganannya pun harus komprehensif, bukan sepotong-sepotong. Dan itu butuh kerjasama dari semua pihak serta keberanian untuk berkorban. Sebab masalah ini bukan cuma tanggung jawab pemerintah: banjir adalah urusan seluruh umat manusia dengan alam. Karena itu butuh kearifan dan keseriusan pula dalam mengatasinya.
Jika mau jujur, masalah ini sebenarnya berawal dari kegagalan kita membina hubungan baik dengan alam. Tidak hanya secara transenden tapi juga realitasnya. Selama ini persahabatan kita dengan alam hanya terbatas pada bagaimana memperoleh profit sebesar-besarnya dengan mengeksploitasinya sedemikian rupa demi kepentingan jangka pendek dan nikmat sesaat. Tidak terpikir apakah besok keturunan kita masih dapat menikmati kehidupan lebih baik atau tidak. Pokoknya yang penting enjoyable.
Apalagi kita tidak mengindahkan peringatan-peringatan alam lain seperti gempa bumi atau tsunami, yang begitu mudah dilupakan. Amnesia kita terhadap bencana yang baru lalu tak membuat kita kapok. Bahkan membuat kita makin serakah: pembalakan ilegal, pembangunan hutan-hutan beton dan pemukiman, pereduksian terus menerus daerah resapan air dan taman penghijauan justru makin menjadi-jadi.
Anehnya semua itu kita perparah dengan sikap hidup yang amburadul: membuang sampah sembarangan, membangun bantaran sungai dan mempersempit ruang gerak air. Semua itu harus dibayar dengan ongkos sosial ekonomi yang mahal: tragedi kehidupan manusia yang menjadi sia-sia, akibat dari ketidakmampuan kita belajar pada alam yang seharusnya terkembang jadi guru.
Proses pembelajaran kita terhadap alam itu tidak lantas membuat kita bergerak cepat mencari dan menemukan akar persoalan yang menyebabkan tragedi tersebut untuk kemudian segera mengatasinya. Tetapi justru menundanya hingga kita memaksa pemerintah untuk segera mengatasinya. Padahal, sekali lagi, ini urusan kita bersama.
Barangkali ada beberapa hal yang mungkin bisa dijadikan bahan analisis dan renungan :
1. Sikap individualisme dan egois
Semakin lama kita rasakan semakin lunturnya budaya kerjasama antar sesama. Budaya gotong royong yang sejak dulu dikenal sebagai bagian kehidupan masyarakat kita, telah kehilangan ruhnya. Kepentingan bersama yang dahulu selalu didengung-dengungkan harus berada di atas kepentingan pribadi, kini berbalik arah: kepentingan pribadi di atas segala-galanya.
Ini disebabkan oleh ideologi individulisme yang berkembang di kepala dan membuat kita bersikap egois yang hanya memikirkan diri sendiri bahkan jika perlu menguntungkan diri sendiri. Oleh karena gotong royong dianggap tidak memberi keuntungan dan cenderung membuang-buang waktu, maka ia tampak hambar tak bermakna. Ironisnya kerjasama membangun lingkungan tidak masuk kategori urusan pribadi tapi urusan umum dan bersifat fardhu kifayah: siapa pun yang melakukan yang penting ada.
2. Runtuhnya kesadaran dan peduli lingkungan
Sikap individualisme itulah yang kemudian membuat kita kehilangan sense of environment care. Kesadaran dan kecintaan terhadap lingkungan hanya terbatas pada wacana dan kata-kata, bukan pada tindakan ril. Lihat saja bagaimana sikap kita terhadap saluran air yang mampet dan jalan rusak serta berlubang yang makin melebar seperti kubangan kerbau di muka rumah mentereng atau tempat usaha (perusahaan) kita yang besar. Kita tidak bergeming melihat hal itu. Tak ada usaha apa pun dari kita sendiri untuk memperbaiki, minimal menambalnya. Seolah-olah itu bukan urusan kita.
3. Mengandalkan orang lain atau pemerintah
Oleh karena hal di atas bukan urusan kita, maka kita sengaja membiarkannya. Menunggu sampai ada orang lain atau pemerintah setempat berinisiatif memperbaikinya. Di sini tampak bahwa kita bukan saja tidak memiliki sikap rela berkorban tetapi juga tidak peduli pada keselamatan orang lain.
4. Budaya uang
Kalau pun kita ingin berbuat, tindakan kita hanya terbatas pada bantuan ala kadarnya. Sayangnya perbaikan yang kita lakukan itu harus di barengi oleh sikap mengemis kita. Meski dengan alasan kita tak memiliki cukup dana untuk melakukan perbaikan itu.
5. Kurangnya pendidikan lingkungan hidup
Dahulu guru-guru di sekolah seringkali mengajak para siswanya untuk melaksanakan kerja bakti baik di lingkungan sekolah, sekitar sekolah maupun di tempat-tempat umum. Atau membawa para siswa berkeliling mengenal lingkungan sekitar. Kini kegiatan semacam itu sudah langka. Kita tidak lagi menemui anak-anak sekolah yang bergotong-royong membersihkan tempat-tempat ibadah, lapangan sepak bola atau pasar dan sebagainya.
Kini kegiatan semacam itu telah digantikan oleh kegiatan pengenalan lingkungan yang membutuhkan biaya besar, yakni pergi ke luar daerah atau tempat wisata yang sesungguhnya makin menjauhkan siswa dari lingkungannya sendiri. Di samping itu sekolah pun membuat jarak terhadap lingkungan sekitar yang terhalang oleh pagar tembok yang tinggi. Seolah-olah antar penghuni dua bagian itu tidak memiliki koneksitasnya.
6. Penghijauan berorientasi bisnis
Harus diakui memang ada sebagian kalangan yang menumbuhkan budaya penghijauan: menanam tanaman hias. Sayangnya, bentuk penghijauan semacam ini hanya bersifat temporer dan berorientasi bisnis. Lihat saja misalnya tanaman jenis Anthurium yang harganya bisa mencapai selangit hanya berdasarkan jumlah daunnya. Yang menjadi kontradiksi dalam kaitannya dengan kepentingan penyelamatan lingkungan adalah yang ditanam bukanlah tanaman yang mampu menyerap air, melainkan tanaman-tanaman kecil yang hanya dapat dinikmati secara individual.
Oleh sebab itu sudah selayaknya kita secara bersama-sama merumuskan kembali pembangunan lingkungan yang komprehensif dan bukan sepotong-sepotong. Juga tidak menudingkan kesalahan pada salah satu pihak. Persoalan ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah. Sebab banjir merupakan persoalan seluruh manusia dengan alam. Karenanya itu menjadi tanggung jawab kita semua. Dan perintah Tuhan untuk berlomba-lomba berbuat kebajikan, pada dasarnya bukan hanya terbatas pada manusia, tetapi juga kepada alam.
Meski demikian, kita juga tidak bisa menuding alam sebagai penyebab. Sejatinya, peristiwa alam itu tergantung pada bagaimana manusia bersikap kepadanya. Jika kita mengelola alam dengan baik, maka alam akan memperlakukan manusia dengan baik pula. Demikian sebaliknya. Sikap transenden inilah yang tampaknya sering kita lupakan.
Kita juga tidak pernah belajar dari alam tentang cara bagaimana memperlakukannya dengan baik. Justru sebaliknya, kita malah mengeksploitasinya sedemikian rupa demi kepentingan perut semata. Karenanya yang terjadi kemudian adalah kerusakan lingkungan yang semakin parah. Itulah balasan alam kepada kita. Pelajaran demi pelajaran yang diberikan oleh alam ternyata luput untuk kita jadikan landasan pendidikan, terutama pendidikan lingkungan hidup.

*Penulis adalah pemerhati masalah sosial dan Ketua Forum Kajian Sosial-Pendidikan (FKSP) tinggal di Pondok Aren.

KETIKA KEBUDAYAAN BERANGKAT TERLALU CEPAT

Oleh : Yusep Prihanto

Tiap kali berbicara kebudayaan, sengaja atau tidak dus sadar atau tidak, kita melulu terbentur dan membenturkan diri pada terminologi Timur-Barat atau setidaknya Tradisi-Modern. Dimana kita memandang dikotomis ini sebagai sebuah analogi yang tak terpisahkan dari kebudayaan. Tentu saja pembagian yang demikian ini bukanlah satu pembagian yang eksak sekali sifatnya. Sebab pembauran antara dua suasana kulturil besar itu terdapat di semua lingkungan kebudayaan, hanya dengan titik berat yang berlainan. [1]
Maka pentingnya mengadakan dialog kebudayaan, bukan saja sekedar upaya menerobos iklim budaya kita yang kian hari kian tak tentu arahnya, tetapi juga secara individual kita diharapkan mampu mengantisipasi wajah kebudayaan kita yang sesungguhnya.
Tentu saja mengutak-utik soal kebudayaan yang demikian universal, kurang bijaklah kiranya hanya menyebut bagian-bagian tertentu yang mungkin dapat mengundang imej tertentu pula sehingga menjadi kurang enak di telinga. Namun, enak atau tidak, kebudayaan tentu saja tidak bisa ditafsirkan sebagaimana beberapa orang buta menebak seekor gajah : setiap orang dipersilakan menafsirkan bagian tubuh gajah yang dipegangnya secara serampangan.
Dulu, kita demikian bersemangat pengantin baru dengan gayanya yang progersif. Kita berteriak lantang: perbanyaklah intelek, tumbuhkan individualis, kumpulkan harta sebanyak mungkin dan tirulah Barat ! Namun di lain sisi kita juga mengibarkan bendera anti satu tiang penuh.
Toh, sebenarnya yang terjadi bukanlah perang antara kubu materialisme dan spiritualisme. Lebih dari itu kita tengah berusaha mencoba merumuskan konsep masa depan yang pada saat itu terasa utopis. Karena memang kita tengah terjepit oleh sistem kolonialisme-imperialisme yang memojokkan kita untuk tetap jongkok.
Kemudian perang dunia kedua datang. Perdebatan terputus. Dan kemerdekaan yang notabene melahirkan Indonesia dan Pancasila, hadir sebagai sintesa sejarah dan juga sintesa kebudayaan. Sebagaimana tertuang dalam Penjelasan UUD 1945 : ... kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah, terhitung sebagai kebudayaan bangsa...
Nah, ini memang bukan kalimat sederhana. Namun pada akhirnya kebudayaan mesti bergantung pada hegemoni sistem politik.
Di masa sesudah kemerdekaan barangkali kita masih belum dapat memaafkan dan melupakan bekas telapak kaki kolonialisme yang selama berabad-abad menempel di dahi. Kita trauma terhadap modernisasi ala imperialisme yang justru menjebak kita dalam kubangan keterbelakangan. Kita masih belum dapat membuka diri, masih merayap dalam sikap apriori, tergesa-gesa mensiasati setiap kemungkinan munculnya musuh eksplisit tersebut.
Bahwa kemudian revolusi belum selesai, itu benar. Idiom-idiom yang mengajak kita pada sebuah sikap bangkit tanpa bantuan, seperti konsep berdikari, kekecewaan terhadap sistem liberalisme yang tak memberi kemajuan, kalimat go to hell with your aids, internasionalisasi yang intens dengan salah satu blok (sosialis-komunis), dilarangnya Manikebu hingga diberangusnya lagu-lagu Koes Plus, adalah lanskap kecil wajah kebudayaan saat itu. Yang menyebabkan kita terjebak dalam situasi kulturil yang kurang menguntungkan.
Demikianlah, sesudah kudeta yang kisruh itu, kita makin sadar bahwa kita tidak boleh terantuk batu kedua kalinya. Maka kita sepakat : Pancasila dipertegas kembali sebagai landasan strategi menuju masa depan.
Tentu saja strategi itu adalah pembangunan, yang pada mulanya dan pada akhirnya merupakan forma kongkret modernisasi. Maka apa yang diobsesikan selama ini sedikit banyak telah kita kecap, kalaupun tak mau disebut terpenuhi. Sebab menurut Mahbub Junaedi : telah muncul di tengah kita gembala sosial baru, kaum modernis dengan perangai jejaka kota, berteriak tanpa was-was "Tradisi, menyingkirlah kalian".[2]
Selama lebih kurang dua dasa warsa, kita memang mengalami proses perjalanan panjang yang demikian singkat tapi melelahkan. Loncatan dari pakai tangan ke pakai sendok-garpu, atau menurut Nehru, dari gerobak ke sepeda, tidak terperi lebih jauh dan dahsyat ketimbang loncatan dari sepeda ke pesawat terbang.[3]
Demikian pula lompatan vertikal yang teramat cepat dari budaya lisan-dengar ke budaya televisi tanpa melaui tahapan budaya membaca, sesungguhnya maha dahsyat. Ini mirip lompatan anak SD kelas tiga ke kelas enam, yang karena sesuatu hal kepintarannya dinyatakan sanggup mengikuti pelajaran di atasnya. Anak itu, setidaknya telah menjadi buah karbitan yang dengan terpaksa sekaligus bangga menerima konsekuensi bahwa ia akan terpesona sekaligus terkejut menghadapi materi pelajaran yang sebelumnya tak pernah diketahuinya mengandung kesulitan atau kemudahan baru. Kecuali jika kemudian ia mampu beradaptasi.
Sementara itu munculnya kecenderungan baru membuat sistem nilai berubah. Kepentingan spiritual sebagai wujud pola tradisional perlahan membentuk pola kepentingan politis tertentu, termasuk di dalamnya material-individual. Konon, ia siap nekat melabrak apa saja yang berada di hadapannya serta menduduki wilayah yang bukan haknya, bahka jika perlu mencopot kedudukan etika moral sekalipun.
Karena yang dihadapi adalah sains dan teknologi kongkret bukan abstrak[4], maka kita ikut terkena getah perkembangan modern tersebut, meskipun juga ikut memetik beberapa buahnya[5]. Tentu karena buah itu meninggalkan kesan yang tak bisa dilepas begitu saja mengingat diktum: sekali sesuatu menimbulkan kenikmatan, ia akan terus menerus diulang.
Lantas bagaimana nasib wujud tradisional ? Di tengah kegamangan dan rutinitas proses produksi sebagai konsekuensi industrialisme-perdagangan maka segala sesuatu jika mengandung nilai materialistik yang dapat dikonsumtif, tampaknya ia dipandang sebagai sebuah benda yang tinggal kenangan belaka. Maka barangkali museumlah tempat yang cocok baginya. Ia diperlakukan sebagai objek yang mesti dibingkai dalam lemari kaca dan bila perlu dipaket menjadi komoditas yang siap dipasarkan untuk kemudian memperoleh keuntungan ekonomi.
Di lain pihak, manusia sebagai pencipta kebudayaan mengalami perubahan yang oleh Emha Ainun Najib disebut telah menjadi fungsi. Fungsi di sini berarti hanya menjadi instrumen dari sebuah sistem besar. Ia berperan sebatas sebagai bentuk intrumental belaka.[6] Akibatnya, kreativitas kebudayaan megalami stagnasi, sebab subyeknya bersama obyek melebur diri menjadi objek yang lebih besar dalam rumah produksi sekaligus konsumsi. Ia diharuskan menghasilkan barang yang itu-itu saja dan menikmatinya tanpa rasa jenuh.
Dari cukilan fenomena itu, muncul keterenyuhan yang mendalam. Kebudayaan kita yang acap disubya-subya selama ini hanya menjadi barang tontonan belaka. Di abad dimana orang tak pernah mengira bahwa akan muncul peradaban internet, manusia Indonesia telah mampu melahirkan kreativitas arsitektur megah semacam Borobudur, sementara kehidupan mereka lebih pada aspek spiritual.
Tetapi spiritual atau bukan, setidaknya mereka telah memiliki tingkat berpikir yang cukup tinggi. Sayang, kemampuan ini tidak diikuti dengan tingkat etos kerja yang sama dengan mereka yang tinggal di Barat.
Mungkin itu nasib buruk nenek moyang kita, tetapi membandingkan seperti itu tampaknya sesuatu yang sia-sia. Karena kita tidak akan sanggup menemukan benang merah di dalamnya. Sebab tugas kita bukan menyesali warisan itu dengan menuding berbagai bentuk kesalahan masa lalu.
Sesungguhnya strategi kebudayan yang telah disusun, boleh dikata cukup ampuh. Paling tidak dengan mengingat bahwa usaha mengakumulasi kebinekaan dalam wadah tunggal kepribadian bangsa bukanlah perkara enteng. Dengan membandingkan perjalanan etnis bangsa lain pula, kita dapat memetik hikmah bahwa masing-masing tubuh kebudayaan memiliki asumsi politik tertentu, yang jika tidak diberi peluang mengembangkan diri akan menimbulkan kegelisahan sosial-politik dan mengguncang stabilitas nasional sebagai penyangga berkembangnya kebudayaan. Setidaknya tiap kebudayaan itu mendapat porsi dan prioritas yang sama dalam menggunakan fasilitas yang disediakan oleh sistem politik.
Tetapi rumusan terpenting yang mesti digarap dalam mengantisipasi situasi kulturil dunia yang memasuki masa pasca industri adalah konsep humanisme yang realistis, bukan filosofis. Hal ini menyangkut proses mengembalikan manusia sebagai pencipta kebudayaan dari fungsi obyek ke fitrahnya yang subyektif.
Tentu saja ini bukan pekerjaan sederhana yang mesti dituntaskan dalam tempo singkat. Apalagi sangat mustahil mengembalikannya ke muasal alamiah. Sebab menurut Parsudi Suparlan, sekali suatu kebudayaan yang dimiliki masyarakat berubah, dan khususnya kalau perubahan itu disebabkan oleh masuknya sistem ekonomi dan teknologi, maka tidak akan ada sesuatu kekuatan apa pun yang dapat mengubah lagi pada corak atau tingkat kebudayaan sebelum kebudayaan itu mengalami perubahan.[7]
Tugas berat selanjutnya adalah pembenahan kebudayaan ke dalam dan keluar yakni dengan mengintrospeksi diri. Oleh karena eksistensi kita masih dalam realitas yang ambigu, maka seleksi terhadap bid'ah-bid'ah yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa perlu dilakukan dengan cermat.
Di sini peran generasi muda merupakan faktor yang tidak bisa diabaikan, sebab di tangan merekalah letak kebudayaan masa depan itu. Membekali mereka dengan jawaban filosofis tentu saja tidak cukup, sebab sekali lagi seperti kata Romo Mangunwijaya, yang kita hadapi adalah sains dan teknologi kongkret bukan abstrak. Maka untuk menghadapinya harus melalui jalur pendidikan agar mereka mampu mendeteksi tanda-tanda jaman secara tepat.
Sehingga manakala kebudayaan sudah dirasa berangkat terlalu cepat, tidak akan ada lagi orang tua yang dengan tenang berpesan : "Nak, kutitipkan warisan ini kepadamu. Tolong kau rawat baik-baik. Sebab selain ia merupakan identitas keluarga kita, ia juga berkhasiat menyembuhkan penyakit para tetangga yang telah jenuh dengan tetek bengek modernisasi. Dan yang paling penting ia akan menambah pendapatan kita, yang sebagian besar untuk mengembalikan cicilan kredit perabot rumah".




[1] Prof. AMW Pranarka: Situasi Kulturil Dunia Dewasa ini, CSIS, 1976)
[2] Tempo, 1971
[3] Optimis, 1982
[4] Romo Mangunwijaya, Optimis, Mei 1980.
[5] Prof. AMW Pranarka, 1976.
[6] Media Indonesia, September 1990.
[7] Optimis, Mei 1981

Wednesday, January 21, 2009

पुइसी


KETIKA KEMATIAN JADI MILIK TANGAN MANUSIA

Masa telah melemparku
Pada alam serigala-serigala liar
Dan gundah tak gaduh duduk
Di persimpangan jantung seekor pembunuh
Darah pun jadi merek minuman terbaik

Ini bukan fabel tapi dongeng sebuah sebab
Ketika ajal bukan lagi tangan Izrail
Yang sekali menarik nafas
Ketika kematian jadi mainan
Kucing-kucing liar metropolitan
Ketika agama dan ilmu jadi penonton
Bioskop-bioskop picisan
Dan, ketika dosa jadi tembang kesayangan
Bocah-bocah ingusan

Lalu koran pun bertanya
Pada dosa yang tak mau disebutkan namanya
: siapakah pembunuh nurani hukum ?

Karang Tengah, 1989

(Buku Kumpulan Puisi YUSEP PRIHANTO)

BINTANG EMPAT DAN SENGAJA MENANGIS


Anak perempuan saya yang nomor dua, Rani, baru berumur 6 tahun dan baru masuk TK B. Boleh dikata ia termasuk anak yang ceria dan sering membuat kejutan serta hal-hal lucu, baik dari tingkah lakunya maupun apa yang dilontarkannya. Pernah pada suatu hari neneknya yang sedang sakit kepala, meminta tolong kepada kakaknya, Tia, untuk dibelikan obat sakit kepala Cap Bintang Toejoe. Karena sang kakak berkali-kali dipanggil tidak menyahut, tiba-tiba Rani muncul dan berkata menawarkan diri:
“Sini nek, biar aku saja yang membeli ya ? Tapi jangan “bintang tujuh” ya, “bintang empat” saja, soalnya di sekolah aku selalu dapat nilai “bintang lima”. Jadi nenek tidak boleh dapat bintang lebih banyak dari aku ?” Kami semua tergelak-gelak sebagaimana yang juga kami alami di sebuah toko buku.
Rupanya Rani gembira sekali berada di toko buku yang luas itu. Ia berjalan dan berlari-lari kecil sendiri di depan kami tanpa menghiraukan kami yang berada di belakangnya. Tiba-tiba kami bertiga tertarik dan berhenti pada sebuah monitor LCD yang sedang mengetengahkan pelajaran membaca Al Qur’an.
Agak lama juga kami berdiam di situ, sehingga lalai tidak memperhatikan Rani. Maka ketika usai menonton LCD itu, kami bingung dan panik mencarinya ke sana kemari. Namun tak berapa lama, kami mendengar dan mengenali suara isak tangisnya. Saya lihat, ia sedang dituntun oleh bapak Satpam yang mungkin akan membawanya menuju ke ruang informasi. Dengan cepat saya menghampiri dan langsung menggendongnya.
“Memangnya Rani ke arah mana?” tanya saya
“Aku kira ayah dan mama ada di sana, makanya aku ke sana” jelasnya sambil menangis.
“Lalu mengapa kamu menangis tidak dan kembali ke arah sini ?”
“Aku sengaja menangis supaya pak Satpam mengantarkan aku ke ayah” jawabnya tanpa dibuat-buat. Kami semua yang hadir di sana tersenyum geli mendengar keluguannya itu.

KEBERADAAN SEORANG PEMIMPIN


Oleh : Yusep Prihanto*

Tatkala terjadi musibah meninggalnya keluarga Daeng Basse di Makasar akibat kelaparan dan penyakit yang tak tertangani beberapa waktu lalu, sesungguhnya ada sebuah pertanyaan yang menggelitik, di manakah keberadaan para tetangga, terutama para pemimpinnya: Ketua RT, RW, Lurah, Camat, Bupati, anggota DPR/DPRD, para Menteri hingga Presiden, saat peristiwa itu terjadi? Atau tepatnya, di manakah mereka semua ketika keluarga itu tengah dilanda sakit dan tak punya uang untuk berobat sehingga kemudian harus bergumul dengan maut?
Memang ada banyak faktor untuk bisa menjawabnya. Ada banyak argumentasi yang bisa menerangkannya. Bahkan ada banyak alasan dan alibi untuk mengelak dari tanggung jawabnya. Namun adakah hati nurani mampu berbohong?
Ini bukan bermaksud mendramatisasi sebuah peristiwa yang sebetulnya sudah sering terjadi di tempat lain dan di masa lalu. Tetapi dengarlah: "Tiap-tiap kamu adalah pemimpin" demikian Nabi Muhammad SAW bersabda. "Dan setiap kamu akan dimintai pertanggungjawaban tentang rakyatnya. Pemerintah adalah pemimpin dan bertanggung jawab terhadap rakyatnya. Lelaki adalah pemimpin dan bertanggung jawab terhadap keluarganya. Wanita adalah pemimpin dalam rumah suaminya dan bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya (suami dan anak). Pembantu adalah pemimpin dalam menjaga harta majikannya dan bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya". Maka di manakah para pemimpin kita ketika keluarga Daeng Basse kelaparan, sakit dan tak punya uang? Mungkin kita dapat pula menambahkan sabda tersebut menjadi: Tetangga adalah pemimpin bagi tetangga yang lain dan bertanggung jawab terhadap keadaan tetangganya.
Ketika dunia semakin modern dan komunikasi semakin canggih. Ketika sikap individualistis mengisi pikiran setiap orang, ketika pagar "tembok Berlin dan China" rumah kita berdiri angkuh, ternyata semua itu tak membuat sifat-sifat kepedulian bagi pertetanggaan kita semakin baik, tetapi bahkan nyaris hilang. Siapakah yang tahu dan peduli bila ada tetangga, anak buah atau salah seorang yang kita pimpin itu kelaparan, sakit bahkan mati kalau tidak ada yang melaporkan?
Tapi mengapa harus menunggu adanya laporan, mengapa tidak kita sendiri sebagai pemimpin yang berusaha untuk mencari tahu dan peduli dengan nasib orang lain? Mengapa kita tidak mencontoh kisah Menanak batu-nya Khalifah Umar bin Khattab yang berusaha untuk peduli pada rakyatnya. Khalifah ini malam-malam menyamar dan menyelinap ke setiap rumah penduduk untuk mengetahui ada tidak warganya yang kelaparan.
Alkisah tersebutlah di dalam sebuah rumah, seorang anak sedang merintih kesakitan karena perutnya lapar sesudah beberapa hari tidak makan. Sementara ibunya senantiasa mencoba menenangkannya dengan mengatakan makanannya sedang dimasak. Beberapa kali anak itu merengek dan menangis tetapi ibunya terus menghiburnya sampai kemudian anak itu tertidur. Ternyata sang ibu harus berbohong kepada anaknya karena yang dimasak itu adalah batu. Umar pun sedih dan terharu mendengar itu semua. Maka dengan cepat sang khalifah kembali ke rumah lalu memerintahkan anak buahya untuk membawakan sejumlah karung berisi gandum ke rumah ibu dan anak itu.
Bayangkan menanak batu! Di tengah kondisi sosial ekonomi Indonesia yang makin morat marit ini, kasus Daeng Basse hanyalah fenomena gunung es. Bukan mustahil bahwa sesungguhnya banyak dari masyarakat kita yang tidak terdeteksi juga tengah menanak batu. Atau sama sekali tidak menanak apa-apa, karena memang sudah tidak ada apa pun yang bisa dimasak. Ketika harga beras mencapai Rp. 5.000 per liter. Ketika harga minyak tanah Rp. 7.000,- perliter. Ketika konversi kompor gas tidak tuntas. Ketika harga minyak goreng di atas Rp. 10.000,- . Dan ketika mata uang sudah tidak memiliki nilai, apa lagi yang bisa dimasak oleh rakyat?
Barangkali terlalu ekstrim jika kita memimpikan munculnya Robin Hood atau Si Pitung, namun kisah sang khalifah itu mestinya bisa menjadi inspirasi bagi para pemimpin bahwa sesungguhnya sangat berat dan tidak mudah untuk menjadi pemimpin. Seorang pemimpin harus terus bergulat dengan tugas dan tanggung jawabnya selama 24 jam. Bukan mengisi waktu luangnya dengan menebar pesona: bernyanyi lalu menelurkan album, atau memancing dan bersenang-senang, sementara rakyatnya sedang bersusah payah berjuang mengisi perut di tengah harga-harga kebutuhan pokok yang melambung tinggi.
Lalu di mana keberpihakan seorang pemimpin pada rakyatnya, yang sesudah jatuh oleh berbagai musibah, ditimpa pula oleh problema ekonomi yang mencekik? Tampaknya, apa pun alasan yang diberikan - seperti harga minyak dunia yang sudah melebihi 100 dolar per barel, sehingga subsidi harus dihapus - tidak cukup membuat hati rakyat menjadi tenang bahkan semakin pesimis menghadapi masa depan.
Pertanyaan di atas berlaku juga bagi para pemimpin di parlemen yang terhormat. Mana keberpihakan anda pada rakyat yang tengah menggeliat ini? Anda lebih banyak memikirkan kepentingan partai ketimbang kepentingan rakyat. Sebab rakyat tidak begitu penting. Yang lebih penting bagi adalah bagaimana meributkan soal pemilihan Gubernur Bank, Mahkamah Konstitusi, anggota KPU, atau persyaratan calon presiden ketimbang meributkan persoalan sembako yang harganya sudah setinggi langit.
Sebab jika anda memenangkan salah satu kandidat, itu berarti anda dan partai anda telah memenangkan tender dan anda akan selalu kebagian proyek. Kalau pun kemudian anda terlihat ribut dan bertengkar di gedung wakil rakyat, hal itu semata-mata agar anda disebut membela rakyat padahal sebenarnya anda membela kepentingan pribadi dan partai anda. Dan rakyat hanya dipakai ketika anda memerlukannya lima tahun sekali.
Seharusnya para pemimpin bertindak mati-matian demi rakyat. Sebab Islam menghendaki agar para pemimpin masyarakat bersikap patuh secara totalitas dalam setiap waktu dan keadaan. Penyerahan diri seorang pemimpin secara total terhadap kepentingan rakyat dan bangsa akan membawa keselamatan dan keberkahan bagi diri dan masyarakatnya. Oleh sebab itu, pada jaman Khulafaur Rasyidin, kaum muslimin selalu memilih pemimpin yang wara' dan zuhud dan bukan sekedar bersikap flamboyan.
Oleh karena itu ketika Umar bin Khattab diangkat menjadi khalifah berikutnya, beliau berdoa: "Ya Allah, sesungguhnya aku adalah mahluk yang banyak berbuat kesalahan, oleh sebab itu lembutkanlah diriku untuk mengikuti orang-orang yang taat di antara hamba-hamba-Mu dengan tetap berada dalam kebenaran. Karuniakanlah aku ketegasan dalam menghadapi musuh-musuh-Mu dan orang-orang munafik. Ya Allah, sesungguhnya aku ini tergolong orang yang kikir, oleh karena itu jadikanlah aku orang yang dermawan dalam menjalankan kebaikan dalam sikap sederhana, tidak boros dan tidak memubadzirkan sesuatu".
Doa tersebut menunjukan bahwa jika seseorang terpilih sebagai pemimpin, apa pun bentuknya, tidak pantas berbangga diri dengan kemenangannya tetapi justru menyadari kekurangannya. Komitmennya untuk memperjuangkan kepentingan rakyat, terutama berkaitan dengan persoalan ekonomi, haruslah diaplikasikan dalam bentuk kedermawanan, kesederhanaan, ketidakborosan dan ketidakmubadziran pada setiap pengambilan keputusan yang berpihak pada rakyat miskin.
Ironisnya, banyak para pemimpin yang merasa alergi dan kebakaran jenggot mendengar orang lain berbicara soal kemiskinan. Atau merasa malu jika di wilayah kekuasaannya dikatakan masih ada yang miskin, kelaparan, kekurangan gizi, gizi buruk dan makan nasi aking. Bahkan kalau pun ada, semua yang berkaitan dengan kekurangan dan kelemahan wilayahnya akan berusaha ditutupi karena takut kredibilitasnya menurun. Hal ini menunjukkan bahwa mental para pemimpin itu memang tidak peduli dengan masalah kemiskinan.
Maka tak heran jika kemudian muncul kasus Daeng Basse atau kasus Cipondoh yang kemudian ditanggapi oleh para pemimpin dengan sikap mengelak, bahwa kasus itu bukan kasus yang perlu dibesar-besarkan. Mestinya kondisi itu ditanggapi dengan jiwa besar serta ikhtiar keras dan sungguh-sungguh untuk dapat menguranginya. Karena masalah kemiskinan tidak bisa dihadapi hanya dengan basa basi politik, gengsi jabatan maupun berbantah-bantahan tetapi harus dengan sesuatu yang lebih kongkrit dan memberi manfaat bagi rakyat.

* Penulis adalah pemerhati masalah sosial, Ketua Forum Kajian Sosial-Pendidikan (FKSP) tinggal di Tangerang.

HARAPAN PADA PEMIMPIN BARU TANGERANG


Oleh : Yusep Prihanto*

Genderang kampanye pemilihan kepala daerah langsung (pilkadal) Kabupaten Tangerang sebentar lagi ditabuh. Meski sebenarnya aroma kampanye itu sudah tercium jauh-jauh hari ketika pendataan pemilih dimulai. Sebagaimana terjadi di daerah lain, public space kita pun penuh dengan “kampanye terselubung” yang merusak pemandangan. Berbagai spanduk, billboard, umbul-umbul para kandidat bertebaran di jalan serta sudut-sudutnya di berbagai pelosok kampung yang sebelumnya tak pernah terjangkau dan dibumbui sedikit oleh iklan kampanye di layar teve. Mestinya semua itu dapat dianggap sebagai pelanggaran karena mencuri start.
Perlombaan kalimat-kalimat muluk “kesejahteraan masyarakat” atau “pendidikan dan kesehatan gratis” diumbar sedemikian rupa oleh para kandidat yang sebelumnya juga tak pernah dikenal. Siapakah si A, B atau C dan bagaimana track recordnya, merupakan tanda tanya besar bagi masyarakat awam. Mereka yang hanya dikenal di lingkungan komunitasnya tiba-tiba saja ingin dikenal secara luas dengan cara yang instan.
Walaupun demikian dalam konteks ini, penyelenggaraan pesta demokrasi di negeri kita telah mengalami kemajuan pesat. Artinya, semua peristiwa pemilihan kepemimpinan yang sudah dan akan berlangsung di berbagai daerah telah berjalan sesuai dengan asas demokrasi meski masih dengan segala keterbatasannya.
Tentunya perubahan ini amatlah menggembirakan, sebab di masa lalu kehadiran pemimpin di negeri ini bagai air hujan. Artinya, hujan turun kapan pun ia mau turun atau diturunkan dari langit. Sama halnya pemimpin saat itu, ia hadir kapan saja ia dikirim dan ditempatkan di mana saja, sementara rakyat harus menerimanya. Ibarat diberi – bukan dibeli atau membeli - kucing dalam karung, masyarakat harus pasrah bongkokan menerima pemimpin yang sepak terjangnya tidak pernah diketahui sebelumnya.

Produktivitas dan Demokratisasi

Sebagai warga Tangerang, sudah sepatutnya kita sambut gembira perubahan ini. Juga pelaksanaan pilkada mendatang dengan hadirnya tiga pasang kandidat yang siap memimpin, kita harus pula siap mendukung siapa saja yang ingin berbuat baik bagi Kabupaten Tangerang.
Tapi kenapa hanya tiga pasang? Kenapa bukan selusin pasang? Bukankah di Kabupaten Tangerang ini banyak sekali tokoh-tokoh mumpuni? Apa salahnya Tangerang punya seribu orang tokoh yang akan memperkuat daerahnya? Dengan begitu kita tidak akan sukar mencari pemimpin.
Kesulitan kita dalam mencari pemimpin pada dasarnya disebabkan oleh produktivitas masyarakat yang masih rendah dalam menghasilkan tokoh-tokoh politik berbobot. Akibatnya yang muncul hanya satu atau dua tokoh yang itu-itu saja, sehingga mata masyarakat hanya tertuju pada satu tokoh yang paling menonjol. Itu pun tokoh yang sering dilihatnya dan mungkin memiliki "kedekatan" tertentu.
Tentu hal itu tidak salah, akan tetapi jika semua orang mampu meningkatkan kualitasnya barangkali suasananya jadi lain, sebab di sinilah letak demokratisasi sesungguhnya. Karena menjadi bangsa yang demokratis berarti membangun masing-masing pribadi menjadi lebih kreatif, lebih produktif, dan lebih bermutu. Di mana daya saing yang konstruktif perlu dimiliki oleh orang per orang.
Apabila setiap orang adalah pemimpin bermutu maka yang dihasilkan oleh masyarakat adalah pemimpin paling bermutu (best of the best). Implikasinya ialah yang diberikan dan dilakukan untuk masyarakatnya pun sesuatu yang bermutu. Sebab pemimpin bermutu memiliki visi, misi dan perencanaan yang jelas. Bukan pemimpin yang tebang pilih, asal-asalan yang berujung pada tindakan korup. Karenanya kita sangat mendukung hadirnya pemimpin yang bermutu.

Obyektivitas vs Preferensi

Tentu saja dukungan sebagai masyarakat biasa yang kita berikan itu, bukan didasarkan pada rasa suka atau tidak suka terhadap para kandidat. Sebab masalah kepemimpinan merupakan amanat rakyat yang harus dilaksanakan secara sungguh-sungguh, dan tidak boleh dikaitkan dengan perasaan suka atau tidak suka tersebut.
Seandainya kita menyukai Ismet-Rano, haram untuk dijadikan dasar kehendak agar keduanya menjadi Bupati-Wabup. Dan seandainya kita tidak menyukai Jazuli-Airin atau Usamah-Habib, tidak halal dijadikan landasan agar mereka tidak jadi Bupati-Wabup. Kita menghendaki seseorang untuk menjadi pemimpin kita bukan karena ia seideologi, seagama, separtai, segolongan, sedaerah, sesuku, sekelompok, maupun sefamili dengan kita. Kita juga tidak boleh melihat apakah kandidat A, B atau C itu masih keponakan, adik, sanak saudara, ipar atau keturunan dari tokoh X, jawara Y, gubernur Z maupun Kabagtipda (kepala bagian penitipan sepeda) N.
Dengan kata lain, kita tidak menghendaki seseorang menjadi pemimpin bukan karena segala macam alasan apapun yang bersifat "subyektif, primordial dan emosional". Soal kepemimpinan adalah "soal rasional dan obyektif yang berkaitan erat dengan amanat Tuhan atas proses penyejahteraan seluruh rakyat".
Oleh karena itu sulit dipahami jika di kalangan para pendukung masing-masing kandidat banyak terjadi friksi dan intrik-intrik yang memalukan dan tidak dewasa. Hanya karena masalah sepele, antar pendukung dapat terlibat dalam perseteruan yang aneh: saudara menjadi musuh, seorang pegawai diancam dipecat atau dimutasi, gambar/poster lawan dirusak dan sebagainya.
Ini merupakan cermin bahwa soal kepemimpinan bagi kalangan grassroot masih menjadi sesuatu yang sifatnya fanatisme-emosional-subyektif dan bukan rasional-obyektif. Sehingga tak heran begitu hasil perhitungan pilkada diumumkan, yang terjadi justru protes kekurang-puasaan yang berujung pada bentrokan massal antar pendukung.
Di lain pihak, kita sering kali mendengar bahwa pilihan yang kita berikan hanya berdasar pada kemolekan wajah, kepopularitasan maupun kekayaan. Padahal yang kita butuhkan adalah orang yang memiliki kemampuan mengelola kebutuhan masyarakat yang akan dipimpinnya. Memimpin, kata Haji Agus Salim, adalah jalan menderita. Artinya, orang yang menjadi pemimpin harus siap menderita lahir batin, bukan bersenang-senang di atas penderitaan masyarakat. Lebih dari itu ia harus siap memberikan yang terbaik bukan menerima atau mengambil apa yang bukan haknya apalagi "mengeruk" sebanyak-banyaknya.
Ia juga harus siap menemui dan mendatangi siapa saja yang menjadi warganya di pelosok-pelosok kampung terpencil sekalipun, baik di wilayah yang menjadi basis pendukungnya maupun yang tidak. Sebab, sesudah menjadi pemimpin, ia bukan lagi menjadi milik golongan atau pendukungnya, ia adalah milik bersama.
Kita tidak menghendaki pemimpin yang cuma mampu berkata-kata tapi tak mampu berbuat banyak. Kita menginginkan "bukti bukan janji". Sebab masyarakat kini sudah lebih pandai dan berani dalam menyampaikan inspirasi serta keinginannya. Masyarakat kini bukan lagi masyarakat masa lalu yang begitu mudah menerima apa pun yang disodorkan oleh pemerintah pusat tanpa reserved.
Dibanding produk masa lalu, kebebasan memilih pemimpin pada saat ini merupakan kesempatan emas bagi masyarakat untuk tidak bersikap gegabah dalam memberikan amanat yaitu kepada orang yang benar-benar dipercaya mampu membawa nasibnya ke arah dan masa depan yang lebih baik. Kepada orang yang bersungguh-sungguh mempersembahkan dirinya untuk semata-mata kepentingan orang banyak dan bukan vested interested pribadi, keluarga dan golongannya.

Wajah Lama vs Wajah Baru

Selain itu di masyarakat berkembang pula debat kusir soal terminologi “kandidat baru” dan “kandidat lama” yang sebenarnya sama-sama memiliki kelebihan dan kekurangan. Di satu sisi, dengan pemimpin lama, kita sudah bisa melihat dan menilai hasil kerjanya selama ia memimpin sehingga masyarakat dapat menimbang apakah pemimpin tersebut layak dipilih kembali atau tidak.
Di sisi lain, pemimpin baru masih harus diuji kualitasnya sehingga masyarakat harus berspekulasi apakah pemimpin yang nanti dipilihnya benar-benar berkualitas sebagai pemimpin yang memikirkan umatnya, ataukah sekedar pemimpin karbitan yang hanya memikirkan nasib diri, keluarga dan kroninya dan melupakan janji-janji gombalnya tatkala berkampanye.
Tentu saja dilema semacam ini tidak bisa dijadikan alasan untuk kemudian membuat masyarakat meragukan kemampuan "pemimpin baru". Belum tentu kapasitas wajah baru lebih rendah dari wajah lama. Sebab semua itu harus diuji melalui proses panjang "trial and error" untuk membuktikan diri kepada masyarakat bahwa wajah baru pun memiliki kemampuan menyejahterakan warganya.
Di pihak lain wajah lama pun tak perlu merasa besar kepala dengan apa yang telah dilakukannya selama ini. Belum tentu apa yang telah diperbuatnya selama ini memberi dampak positif bagi masyarakat. Bahkan mungkin saja masyarakat lebih banyak melihat segi kekurangannya ketimbang kelebihannya.

Pemimpin yang bertanggungjawab

Setidaknya, masyarakat masih butuh pembelajaran politik: belajar dari pengalaman masa lalu atau pilkada daerah lain, agar tidak terjebak pada persoalan pragmatis belaka. Sayangnya masyarakat itu sendiri yang seringkali merasa senang dijebak dengan politik uang yang pada akhirnya membuat pilkada menjadi tidak lagi fair.
Tentu saja masyarakat sulit melepaskan diri dari problem semacam itu. Akibatnya memilih pemimpin tampak seperti sebuah permainan ketoprak yang tidak ada urusannya dengan nasib para pemilih. Yang muncul kemudian adalah kemunafikan politik: siapapun yang terpilih pada akhirnya tidak menjadi bagian penting dari kehidupan masyarakat yang mengikat dan terlepas begitu saja seusai pesta pilkada. Tak ada komitmen politik yang membuat si terpilih sungguh-sungguh bertanggung jawab kepada pemilihnya. Maka tak heran jika saat ini banyak pemimpin di daerah yang diajukan ke pengadilan karena dugaan kasus korupsi dan tidak ada masyarakatnya yang membela seandainya memang benar pemimpin itu tidak bersalah.
Oleh sebab itu yang kita inginkan adalah pemimpin yang bertanggung jawab setelah terpilih menjadi pemimpin. Yang mau mengurusi hal-hal yang bahkan sangat sepele sekalipun, semisal masalah got, selokan dan comberan agar tidak lagi terjadi banjir. Pemimpin yang mau hadir untuk meresmikan sekolah baru yang berada di ujung berung sekalipun, sebagaimana pernah dilakukan oleh Bupati Pandeglang. Atau pemimpin yang mau berjalan sejauh dua kilometer guna menengok korban tanah longsor, sebagaimana dilakukan Presiden SBY di Karanganyar. Dan pemimpin yang rela berkorban bagi masyarakatnya, bukan pemimpin yang hanya berada di menara gading "istana"nya serta memikirkan dirinya sendiri.
Sastrawan Eka Budianta pernah menuliskan sebuah kisah: "Ketika si Ancok diangkat menjadi walikota, kami turut gembira. Bukan hanya karena ia kenalan kami, tapi juga karena ia masih muda. Kami berharap Ancok tentu dapat menjadi darah segar bagi pemerintahan daerah, dan mampu memberi teladan, bagaimana seyogyanya membenahi kota. Selamat bekerja Ancok, jangan bikin malu generasi muda! Begitu doa dan harapan kami. Tetapi betapa kecewanya kami sekarang. Jabatan Ancok sudah habis dan dia tidak diangkat lagi. Satu-satunya keberhasilan Ancok yang sangat jelas di mata masyarakat adalah: selama masa jabatannya itu rumahnya jadi empat...."(Mempertimbangkan Republik, 1993)
Pemimpin Tangerang semacam inikah yang kita harapkan? Tentu saja tidak. Kita tidak butuh pemimpin Tangerang yang begitu terpilih, seperti kerasukan rasa lapar dan haus yang tak tertahankan akan materi, sehingga lahan-lahan, tanah-tanah atau proyek-proyek dilahap sedemikian rupa demi kepentingan perutnya sendiri. Seperti yang sering dilakukan oleh para oknum Kepala Desa atau Lurah yang tiba-tiba menjadi kemaruk terhadap apa yang diperolehnya sesudah resmi dipilih atau diangkat. Tetapi ingatlah ini: Dan janganlah pengeluaranmu di masa kampanye menyebabkan kamu meraup keuntungan sebanyak-banyaknya demi mencapai break event point atas dana yang telah dihabiskan untuk membiayainya.
Oleh karena itu pemimpin Tangerang haruslah orang yang berani membuktikan kesungguhan komitmennya menjalankan amanat. Sebab Allah akan menagih amanat itu kelak di akhirat. Wallahu a'lam bishawab.

Tangerang, 1 Januari 2008

*Penulis adalah pemerhati masalah sosial dan Ketua Forum Kajian Sosial-Pendidikan (FKSP) tinggal di Pondok Aren.

INSIDEN 'CEPIRIT' LOKAL


Oleh : Abu Yousaiff*

Sudah sehari semalam ini bagian dalam perut saya sulit untuk mengontrol dan menahan laju perjalanan sisa-sisa dan ampas makanan. Sehingga terkadang diluar kesadaran saya, sisa pembuangan itu sudah menyatakan diri ‘kemerdekaannya’ untuk berada di luar tubuh saya. Meskipun cuma sedikit, namun cukup membuat saya pusing memikirkan bukan saja bagaimana cara menahan agar jangan sampai berceceran di tengah jalan menuju jumbleng, namun juga agar jangan sampai tiba-tiba terjadi ‘insiden percepiritan lokal’ di tengah orang banyak, umpamanya ketika saya berada di dalam bis yang akan membawa saya ke sebuah workshop ataupun di tengah workshop itu sendiri.
Tetapi kemudian kekhawatiran saya itu benar-benar menjadi kenyataan. Di tengah workshop yang sedang seru-serunya itu, tiba-tiba bagian bawah tubuh saya melakukan shown up dengan mengibarkan bendera ke udara yang, ya ampun, baunya itu membuat para peserta workshop menjadi gerah dan menutup hidung. Serta merta saya langsung melarikan diri menuju tempat yang aman. Untunglah pimpinan workshop saya orang yang sabar dan tidak gampang marah sehingga saya tenang-tenang saja meskipun mungkin saja beliau itu merasa kecolongan dengan insiden itu.
Seandainya hal itu terjadi di China dijaman Deng Zhiao Ping, mungkin saya sudah babak belur dan tidak lagi berbentuk manusia karena para anggota keamanan akan memberondong saya dengan peluru-peluru beneran. Mirip yang terjadi di Lapangan Tiananmen tahun 1989.
Persoalannya kemudian adalah jika insiden cepirit lokal itu juga menimpa para peserta workshop. Saya khawatir kalau-kalau bakteri yang ada di perut saya sudah menyebar dan meluas sehingga peserta workshop mengibarkan benderanya sendiri dan baunya sudah merasuki hidung setiap orang. Tentu saja ini akan membahayakan keutuhan workshop dan keadaan menjadi gawat darurat atau setidaknya sengaja digawat daruratkan.
Bahkan akan lebih parah lagi jika ‘insiden cepirit’ ini berubah menjadi ‘insiden perberakan nasional’ dimana hampir semua peserta workshop menyatakan diri kemerdekaannya untuk berak dimana-mana. Sehingga setiap tempat menjadi daerah bebas berak, artinya orang bisa seenaknya berak tanpa pandang bulu, dimana saja dan kapan saja. Masih untung jika hal itu dibarengi dengan pembangunan jumbleng massal yang kemudian membuat kehidupan seluruh warga menjadi lebih sejahtera. Akan tetapi bagaimana jika yang terjadi adalah sebaliknya sebagaimana yang terjadi di negeri-negeri bekas Uni Sovyet atau Irak kini.
Inilah yang sesungguhnya terjadi di negeri ini sesudah reformasi. Setiap orang sepertinya seolah-olah boleh mengekspresikan diri dengan bukan saja berani mengibarkan bendera untuk mendirikan negara sendiri tetapi juga memuntahkan dan memberakkan isi pikiran atau isi perutnya masing-masing seenak udel dan dengkulnya tanpa berpikir panjang bahwa apa yang dimuntahkan dan diberakkan itu bisa menimbulkan situasi chaosnya ipoleksosbudhankam negeri ini. Akibatnya politik devide et impera yang di jaman Belanda dulu kita tentang habis-habisan bisa saja terulang dan menjadi kenyataan.
Kini dihampir semua aspek kehidupan orang sudah berani menyatakan diri untuk memberakkan apa saja yang diinginkan, baik berak-berak pikiran mapun berak-berak yang dapat melahirkan kondisi rawan perpecahan nasional. GAM, RMS maupun OPM hanyalah bagian kecil dari masyarakat yang keranjingan untuk memberakkan diri di rumput hijau Indonesia.

*Penulis adalah aktivis Negara Kesatuan Republik Indonesia