Tuesday, December 27, 2011

Gambar wayang-wayang kecil ini terbuat dari kertas bekas karton pembungkus susu bubuk kreasi Bapak Rasmadi yang dibuat untuk cucu-cucunya. Bagi anda yang berminat memasarkannya silakan hubungi 021-7337807 atau 085885786001

Sunday, March 06, 2011

MENANTANG SEKOLAH

Belakangan ini wacana tentang Home Schooling semakin menguat dengan makin bertumbuhnya lembaga-lembaga pendidikan nonformal. Demikian pula munculnya para orangtua dan anak-anak yang bersikap memberontak terhadap lembaga persekolahan mapan, di mana mereka emoh untuk belajar di sekolah.
Sebut saja misalnya sekolah Qaryah Thoyibah di lereng gunung merapi yang membina anak-anak sekitarnya di "sekolah yang membebaskan" itu. Juga ada ibu Yayah, seorang guru SD di Bekasi yang tidak mau menyekolahkan keempat anak-anaknya. Sebelumnya pernah pula di era 80-an, ada sebuah keluarga penulis dan intelektual di Bandung juga memutuskan untuk mendidik anak-anaknya di rumah.
Selain itu tak tanggung-tanggung, dari anak psikolog kondang Seto Mulyadi hingga anak Menteri Sofyan Jalil juga memutuskan untuk tidak bersekolah di sekolah formal. Lalu kini muncul fenomena lain sebuah buku berjudul Dunia Tanpa Sekolah karya seorang anak berusia 15 tahun bernama Muhammad Izza Ahsin Sidqi asal Salatiga Jawa Tengah, yang mengisahkan tentang keberaniannya memilih untuk tidak meneruskan belajar di sekolah formal dan lebih memilih belajar di rumah.
Setidaknya pilihan ini, bagi para bocah remaja itu, merupakan pilihan yang butuh keberanian matang dalam memutuskan berhenti sekolah, bukan saja bagi dirinya tapi juga bagi orangtua dan lingkungan sekitarnya. Di tengah dunia pendidikan yang penuh dengan hiruk pikuk formalitas, bersekolah di rumah menjadi semacam keputusan konyol dan cenderung dituding sebagai snobisme dan eksklusif.
Wong banyak anak yang berkeinginan sekolah tinggi, lha kok tahu-tahu anak-anak itu ngeyel tidak mau sekolah, tentu dalam alam pikiran kita yang awam akan bertanya: mau jadi apa nanti mereka? Barangkali pernyataan semacam inilah yang berputar di kepala kita ketika mendengar keputusan tersebut. Sebab bagi kita yang sejak bayi senantiasa didengung-dengungkan bahwa sekolah adalah sesuatu yang sangat penting, maka tidak bersekolah berarti mati langkah di masa depan. Dan itu berarti kehancuran masa depan atau madesu (masa depan suram).
Tetapi untunglah dunia ini terbuka bagi siapa pun yang ingin melakukan pemberontakan dan revolusi diri. Tak ada larangan bagi siapa pun untuk berbeda langkah dengan kemapanan dunia persekolahan. Dan sekolah bukan satu-satunya jalan guna mencetak masa depan. Masalahnya manusia mana sih yang bisa mengetahui nasib masa depan seseorang? Toh, hidup bukan hanya sebuah garis lurus. Ia adalah juga "the long and winding road" begitu kata The Beatles. Atau barangkali "hidup itu tidak harus dikalkulasi, tapi jalani saja", kata Emha Ainun Nadjib, salah seorang master budayawan dan penulis Indonesia yang hanya mampir selama empat bulan di Fakultas Ekonomi UGM dan kabarnya sempat membakar ijasahnya.
Atau sebut saja Rabindranath Tagore, tokoh masyhur India dan orang Asia pertama peraih Nobel Sastra yang "ketika aku masih sangat belia aku berhenti belajar dan lari dari pelajaranku. Langkah itu telah menyelamatkanku, dan aku mendapatkan semua apa yang kuperoleh kini berkat langkah yang berani itu. Aku melarikan diri dari kelas-kelas yang mengajar, tapi yang tidak mengilhamiku, dan aku memperoleh kepekaan terhadap hidup serta alam". Sebab bagi Tagore "Sekolah adalah siksaan tak tertahankan", sehingga di usia 13 tahun ia berhenti dan jadi penyair.
Kedua tokoh itu hanya sekedar sampel dari deretan panjang para tokoh dan seniman besar yang sukses dan tidak lahir serta dibesarkan oleh bangku akademis bahkan sebagian tak pernah mengecap dunia sekolah, sebut saja Thomas Alfa Edison si Tuli penemu lampu listrik dan 1093 barang baru yang hanya bersekolah selama tiga bulan lalu pada umur 12 harus sudah cari makan. Atau Haji Agus Salim yang mampu menguasai lima bahasa dan lain-lain. Mereka adalah pemilik bakat tertentu yang luar biasa, dan terutama mereka adalah manusia-manusia sabar, tekun dan pekerja keras. Hal ini juga sejalan dengan temuan sejumlah penelitian yang menyebutkan bahwa bakat hanya menyumbang sepuluh persen dari sebuah kesuksesan, sedangkan sumbangan terbesar ialah ketekunan dan kerja keras.
Ada sebuah postulat anonim yang menyebutkan: "Di dunia ini tak ada yang dapat menggantikan ketekunan. Bakat pun tidak. Kita sudah terlalu biasa melihat orang-orang berbakat tetapi gagal. Kehebatan daya pikir pun tidak. Dunia ini penuh dengan gelandangan terpelajar. Ketekunan dan tekadlah yang paling ampuh. Semboyan "maju teruslah" yang telah memecahkan masalah dan akan selalu memecahkan masalah umat manusia".
Maka "laa khaufun wa laa tahzaan", jangan takut dan jangan sedih. Setiap manusia lahir dengan rezekinya sendiri-sendiri. Rezeki tak tergantung dari ijasah sekolah. Ijasah atau sertifikat hanya sekedar cap dan pengakuan yang bersifat relatif karena ia hanya bikinan manusia. Dan karena ia bikinan manusia maka ia bisa diperlakukan sebagai alat untuk menyimpang. Maka tak heran jika terjadi banyak penyimpangan dengan modus ijasah palsu.
Terkadang lucu juga kalau ada anak yang bertanya: untuk apa sih kita sekolah : mencari ilmu, menggapai cita-cita, mendapat pekerjaan, memperoleh ijasah atau sekedar bersosialisasi? Sulit rasanya untuk merumuskan secara tepat apa tujuan bersekolah bagi seorang anak. Bahkan seorang guru pun belum tentu mampu menjawabnya.