Wednesday, January 21, 2009

HARAPAN PADA PEMIMPIN BARU TANGERANG


Oleh : Yusep Prihanto*

Genderang kampanye pemilihan kepala daerah langsung (pilkadal) Kabupaten Tangerang sebentar lagi ditabuh. Meski sebenarnya aroma kampanye itu sudah tercium jauh-jauh hari ketika pendataan pemilih dimulai. Sebagaimana terjadi di daerah lain, public space kita pun penuh dengan “kampanye terselubung” yang merusak pemandangan. Berbagai spanduk, billboard, umbul-umbul para kandidat bertebaran di jalan serta sudut-sudutnya di berbagai pelosok kampung yang sebelumnya tak pernah terjangkau dan dibumbui sedikit oleh iklan kampanye di layar teve. Mestinya semua itu dapat dianggap sebagai pelanggaran karena mencuri start.
Perlombaan kalimat-kalimat muluk “kesejahteraan masyarakat” atau “pendidikan dan kesehatan gratis” diumbar sedemikian rupa oleh para kandidat yang sebelumnya juga tak pernah dikenal. Siapakah si A, B atau C dan bagaimana track recordnya, merupakan tanda tanya besar bagi masyarakat awam. Mereka yang hanya dikenal di lingkungan komunitasnya tiba-tiba saja ingin dikenal secara luas dengan cara yang instan.
Walaupun demikian dalam konteks ini, penyelenggaraan pesta demokrasi di negeri kita telah mengalami kemajuan pesat. Artinya, semua peristiwa pemilihan kepemimpinan yang sudah dan akan berlangsung di berbagai daerah telah berjalan sesuai dengan asas demokrasi meski masih dengan segala keterbatasannya.
Tentunya perubahan ini amatlah menggembirakan, sebab di masa lalu kehadiran pemimpin di negeri ini bagai air hujan. Artinya, hujan turun kapan pun ia mau turun atau diturunkan dari langit. Sama halnya pemimpin saat itu, ia hadir kapan saja ia dikirim dan ditempatkan di mana saja, sementara rakyat harus menerimanya. Ibarat diberi – bukan dibeli atau membeli - kucing dalam karung, masyarakat harus pasrah bongkokan menerima pemimpin yang sepak terjangnya tidak pernah diketahui sebelumnya.

Produktivitas dan Demokratisasi

Sebagai warga Tangerang, sudah sepatutnya kita sambut gembira perubahan ini. Juga pelaksanaan pilkada mendatang dengan hadirnya tiga pasang kandidat yang siap memimpin, kita harus pula siap mendukung siapa saja yang ingin berbuat baik bagi Kabupaten Tangerang.
Tapi kenapa hanya tiga pasang? Kenapa bukan selusin pasang? Bukankah di Kabupaten Tangerang ini banyak sekali tokoh-tokoh mumpuni? Apa salahnya Tangerang punya seribu orang tokoh yang akan memperkuat daerahnya? Dengan begitu kita tidak akan sukar mencari pemimpin.
Kesulitan kita dalam mencari pemimpin pada dasarnya disebabkan oleh produktivitas masyarakat yang masih rendah dalam menghasilkan tokoh-tokoh politik berbobot. Akibatnya yang muncul hanya satu atau dua tokoh yang itu-itu saja, sehingga mata masyarakat hanya tertuju pada satu tokoh yang paling menonjol. Itu pun tokoh yang sering dilihatnya dan mungkin memiliki "kedekatan" tertentu.
Tentu hal itu tidak salah, akan tetapi jika semua orang mampu meningkatkan kualitasnya barangkali suasananya jadi lain, sebab di sinilah letak demokratisasi sesungguhnya. Karena menjadi bangsa yang demokratis berarti membangun masing-masing pribadi menjadi lebih kreatif, lebih produktif, dan lebih bermutu. Di mana daya saing yang konstruktif perlu dimiliki oleh orang per orang.
Apabila setiap orang adalah pemimpin bermutu maka yang dihasilkan oleh masyarakat adalah pemimpin paling bermutu (best of the best). Implikasinya ialah yang diberikan dan dilakukan untuk masyarakatnya pun sesuatu yang bermutu. Sebab pemimpin bermutu memiliki visi, misi dan perencanaan yang jelas. Bukan pemimpin yang tebang pilih, asal-asalan yang berujung pada tindakan korup. Karenanya kita sangat mendukung hadirnya pemimpin yang bermutu.

Obyektivitas vs Preferensi

Tentu saja dukungan sebagai masyarakat biasa yang kita berikan itu, bukan didasarkan pada rasa suka atau tidak suka terhadap para kandidat. Sebab masalah kepemimpinan merupakan amanat rakyat yang harus dilaksanakan secara sungguh-sungguh, dan tidak boleh dikaitkan dengan perasaan suka atau tidak suka tersebut.
Seandainya kita menyukai Ismet-Rano, haram untuk dijadikan dasar kehendak agar keduanya menjadi Bupati-Wabup. Dan seandainya kita tidak menyukai Jazuli-Airin atau Usamah-Habib, tidak halal dijadikan landasan agar mereka tidak jadi Bupati-Wabup. Kita menghendaki seseorang untuk menjadi pemimpin kita bukan karena ia seideologi, seagama, separtai, segolongan, sedaerah, sesuku, sekelompok, maupun sefamili dengan kita. Kita juga tidak boleh melihat apakah kandidat A, B atau C itu masih keponakan, adik, sanak saudara, ipar atau keturunan dari tokoh X, jawara Y, gubernur Z maupun Kabagtipda (kepala bagian penitipan sepeda) N.
Dengan kata lain, kita tidak menghendaki seseorang menjadi pemimpin bukan karena segala macam alasan apapun yang bersifat "subyektif, primordial dan emosional". Soal kepemimpinan adalah "soal rasional dan obyektif yang berkaitan erat dengan amanat Tuhan atas proses penyejahteraan seluruh rakyat".
Oleh karena itu sulit dipahami jika di kalangan para pendukung masing-masing kandidat banyak terjadi friksi dan intrik-intrik yang memalukan dan tidak dewasa. Hanya karena masalah sepele, antar pendukung dapat terlibat dalam perseteruan yang aneh: saudara menjadi musuh, seorang pegawai diancam dipecat atau dimutasi, gambar/poster lawan dirusak dan sebagainya.
Ini merupakan cermin bahwa soal kepemimpinan bagi kalangan grassroot masih menjadi sesuatu yang sifatnya fanatisme-emosional-subyektif dan bukan rasional-obyektif. Sehingga tak heran begitu hasil perhitungan pilkada diumumkan, yang terjadi justru protes kekurang-puasaan yang berujung pada bentrokan massal antar pendukung.
Di lain pihak, kita sering kali mendengar bahwa pilihan yang kita berikan hanya berdasar pada kemolekan wajah, kepopularitasan maupun kekayaan. Padahal yang kita butuhkan adalah orang yang memiliki kemampuan mengelola kebutuhan masyarakat yang akan dipimpinnya. Memimpin, kata Haji Agus Salim, adalah jalan menderita. Artinya, orang yang menjadi pemimpin harus siap menderita lahir batin, bukan bersenang-senang di atas penderitaan masyarakat. Lebih dari itu ia harus siap memberikan yang terbaik bukan menerima atau mengambil apa yang bukan haknya apalagi "mengeruk" sebanyak-banyaknya.
Ia juga harus siap menemui dan mendatangi siapa saja yang menjadi warganya di pelosok-pelosok kampung terpencil sekalipun, baik di wilayah yang menjadi basis pendukungnya maupun yang tidak. Sebab, sesudah menjadi pemimpin, ia bukan lagi menjadi milik golongan atau pendukungnya, ia adalah milik bersama.
Kita tidak menghendaki pemimpin yang cuma mampu berkata-kata tapi tak mampu berbuat banyak. Kita menginginkan "bukti bukan janji". Sebab masyarakat kini sudah lebih pandai dan berani dalam menyampaikan inspirasi serta keinginannya. Masyarakat kini bukan lagi masyarakat masa lalu yang begitu mudah menerima apa pun yang disodorkan oleh pemerintah pusat tanpa reserved.
Dibanding produk masa lalu, kebebasan memilih pemimpin pada saat ini merupakan kesempatan emas bagi masyarakat untuk tidak bersikap gegabah dalam memberikan amanat yaitu kepada orang yang benar-benar dipercaya mampu membawa nasibnya ke arah dan masa depan yang lebih baik. Kepada orang yang bersungguh-sungguh mempersembahkan dirinya untuk semata-mata kepentingan orang banyak dan bukan vested interested pribadi, keluarga dan golongannya.

Wajah Lama vs Wajah Baru

Selain itu di masyarakat berkembang pula debat kusir soal terminologi “kandidat baru” dan “kandidat lama” yang sebenarnya sama-sama memiliki kelebihan dan kekurangan. Di satu sisi, dengan pemimpin lama, kita sudah bisa melihat dan menilai hasil kerjanya selama ia memimpin sehingga masyarakat dapat menimbang apakah pemimpin tersebut layak dipilih kembali atau tidak.
Di sisi lain, pemimpin baru masih harus diuji kualitasnya sehingga masyarakat harus berspekulasi apakah pemimpin yang nanti dipilihnya benar-benar berkualitas sebagai pemimpin yang memikirkan umatnya, ataukah sekedar pemimpin karbitan yang hanya memikirkan nasib diri, keluarga dan kroninya dan melupakan janji-janji gombalnya tatkala berkampanye.
Tentu saja dilema semacam ini tidak bisa dijadikan alasan untuk kemudian membuat masyarakat meragukan kemampuan "pemimpin baru". Belum tentu kapasitas wajah baru lebih rendah dari wajah lama. Sebab semua itu harus diuji melalui proses panjang "trial and error" untuk membuktikan diri kepada masyarakat bahwa wajah baru pun memiliki kemampuan menyejahterakan warganya.
Di pihak lain wajah lama pun tak perlu merasa besar kepala dengan apa yang telah dilakukannya selama ini. Belum tentu apa yang telah diperbuatnya selama ini memberi dampak positif bagi masyarakat. Bahkan mungkin saja masyarakat lebih banyak melihat segi kekurangannya ketimbang kelebihannya.

Pemimpin yang bertanggungjawab

Setidaknya, masyarakat masih butuh pembelajaran politik: belajar dari pengalaman masa lalu atau pilkada daerah lain, agar tidak terjebak pada persoalan pragmatis belaka. Sayangnya masyarakat itu sendiri yang seringkali merasa senang dijebak dengan politik uang yang pada akhirnya membuat pilkada menjadi tidak lagi fair.
Tentu saja masyarakat sulit melepaskan diri dari problem semacam itu. Akibatnya memilih pemimpin tampak seperti sebuah permainan ketoprak yang tidak ada urusannya dengan nasib para pemilih. Yang muncul kemudian adalah kemunafikan politik: siapapun yang terpilih pada akhirnya tidak menjadi bagian penting dari kehidupan masyarakat yang mengikat dan terlepas begitu saja seusai pesta pilkada. Tak ada komitmen politik yang membuat si terpilih sungguh-sungguh bertanggung jawab kepada pemilihnya. Maka tak heran jika saat ini banyak pemimpin di daerah yang diajukan ke pengadilan karena dugaan kasus korupsi dan tidak ada masyarakatnya yang membela seandainya memang benar pemimpin itu tidak bersalah.
Oleh sebab itu yang kita inginkan adalah pemimpin yang bertanggung jawab setelah terpilih menjadi pemimpin. Yang mau mengurusi hal-hal yang bahkan sangat sepele sekalipun, semisal masalah got, selokan dan comberan agar tidak lagi terjadi banjir. Pemimpin yang mau hadir untuk meresmikan sekolah baru yang berada di ujung berung sekalipun, sebagaimana pernah dilakukan oleh Bupati Pandeglang. Atau pemimpin yang mau berjalan sejauh dua kilometer guna menengok korban tanah longsor, sebagaimana dilakukan Presiden SBY di Karanganyar. Dan pemimpin yang rela berkorban bagi masyarakatnya, bukan pemimpin yang hanya berada di menara gading "istana"nya serta memikirkan dirinya sendiri.
Sastrawan Eka Budianta pernah menuliskan sebuah kisah: "Ketika si Ancok diangkat menjadi walikota, kami turut gembira. Bukan hanya karena ia kenalan kami, tapi juga karena ia masih muda. Kami berharap Ancok tentu dapat menjadi darah segar bagi pemerintahan daerah, dan mampu memberi teladan, bagaimana seyogyanya membenahi kota. Selamat bekerja Ancok, jangan bikin malu generasi muda! Begitu doa dan harapan kami. Tetapi betapa kecewanya kami sekarang. Jabatan Ancok sudah habis dan dia tidak diangkat lagi. Satu-satunya keberhasilan Ancok yang sangat jelas di mata masyarakat adalah: selama masa jabatannya itu rumahnya jadi empat...."(Mempertimbangkan Republik, 1993)
Pemimpin Tangerang semacam inikah yang kita harapkan? Tentu saja tidak. Kita tidak butuh pemimpin Tangerang yang begitu terpilih, seperti kerasukan rasa lapar dan haus yang tak tertahankan akan materi, sehingga lahan-lahan, tanah-tanah atau proyek-proyek dilahap sedemikian rupa demi kepentingan perutnya sendiri. Seperti yang sering dilakukan oleh para oknum Kepala Desa atau Lurah yang tiba-tiba menjadi kemaruk terhadap apa yang diperolehnya sesudah resmi dipilih atau diangkat. Tetapi ingatlah ini: Dan janganlah pengeluaranmu di masa kampanye menyebabkan kamu meraup keuntungan sebanyak-banyaknya demi mencapai break event point atas dana yang telah dihabiskan untuk membiayainya.
Oleh karena itu pemimpin Tangerang haruslah orang yang berani membuktikan kesungguhan komitmennya menjalankan amanat. Sebab Allah akan menagih amanat itu kelak di akhirat. Wallahu a'lam bishawab.

Tangerang, 1 Januari 2008

*Penulis adalah pemerhati masalah sosial dan Ketua Forum Kajian Sosial-Pendidikan (FKSP) tinggal di Pondok Aren.

No comments: