Wednesday, January 21, 2009

INSIDEN 'CEPIRIT' LOKAL


Oleh : Abu Yousaiff*

Sudah sehari semalam ini bagian dalam perut saya sulit untuk mengontrol dan menahan laju perjalanan sisa-sisa dan ampas makanan. Sehingga terkadang diluar kesadaran saya, sisa pembuangan itu sudah menyatakan diri ‘kemerdekaannya’ untuk berada di luar tubuh saya. Meskipun cuma sedikit, namun cukup membuat saya pusing memikirkan bukan saja bagaimana cara menahan agar jangan sampai berceceran di tengah jalan menuju jumbleng, namun juga agar jangan sampai tiba-tiba terjadi ‘insiden percepiritan lokal’ di tengah orang banyak, umpamanya ketika saya berada di dalam bis yang akan membawa saya ke sebuah workshop ataupun di tengah workshop itu sendiri.
Tetapi kemudian kekhawatiran saya itu benar-benar menjadi kenyataan. Di tengah workshop yang sedang seru-serunya itu, tiba-tiba bagian bawah tubuh saya melakukan shown up dengan mengibarkan bendera ke udara yang, ya ampun, baunya itu membuat para peserta workshop menjadi gerah dan menutup hidung. Serta merta saya langsung melarikan diri menuju tempat yang aman. Untunglah pimpinan workshop saya orang yang sabar dan tidak gampang marah sehingga saya tenang-tenang saja meskipun mungkin saja beliau itu merasa kecolongan dengan insiden itu.
Seandainya hal itu terjadi di China dijaman Deng Zhiao Ping, mungkin saya sudah babak belur dan tidak lagi berbentuk manusia karena para anggota keamanan akan memberondong saya dengan peluru-peluru beneran. Mirip yang terjadi di Lapangan Tiananmen tahun 1989.
Persoalannya kemudian adalah jika insiden cepirit lokal itu juga menimpa para peserta workshop. Saya khawatir kalau-kalau bakteri yang ada di perut saya sudah menyebar dan meluas sehingga peserta workshop mengibarkan benderanya sendiri dan baunya sudah merasuki hidung setiap orang. Tentu saja ini akan membahayakan keutuhan workshop dan keadaan menjadi gawat darurat atau setidaknya sengaja digawat daruratkan.
Bahkan akan lebih parah lagi jika ‘insiden cepirit’ ini berubah menjadi ‘insiden perberakan nasional’ dimana hampir semua peserta workshop menyatakan diri kemerdekaannya untuk berak dimana-mana. Sehingga setiap tempat menjadi daerah bebas berak, artinya orang bisa seenaknya berak tanpa pandang bulu, dimana saja dan kapan saja. Masih untung jika hal itu dibarengi dengan pembangunan jumbleng massal yang kemudian membuat kehidupan seluruh warga menjadi lebih sejahtera. Akan tetapi bagaimana jika yang terjadi adalah sebaliknya sebagaimana yang terjadi di negeri-negeri bekas Uni Sovyet atau Irak kini.
Inilah yang sesungguhnya terjadi di negeri ini sesudah reformasi. Setiap orang sepertinya seolah-olah boleh mengekspresikan diri dengan bukan saja berani mengibarkan bendera untuk mendirikan negara sendiri tetapi juga memuntahkan dan memberakkan isi pikiran atau isi perutnya masing-masing seenak udel dan dengkulnya tanpa berpikir panjang bahwa apa yang dimuntahkan dan diberakkan itu bisa menimbulkan situasi chaosnya ipoleksosbudhankam negeri ini. Akibatnya politik devide et impera yang di jaman Belanda dulu kita tentang habis-habisan bisa saja terulang dan menjadi kenyataan.
Kini dihampir semua aspek kehidupan orang sudah berani menyatakan diri untuk memberakkan apa saja yang diinginkan, baik berak-berak pikiran mapun berak-berak yang dapat melahirkan kondisi rawan perpecahan nasional. GAM, RMS maupun OPM hanyalah bagian kecil dari masyarakat yang keranjingan untuk memberakkan diri di rumput hijau Indonesia.

*Penulis adalah aktivis Negara Kesatuan Republik Indonesia

No comments: