Wednesday, January 21, 2009

KEBERADAAN SEORANG PEMIMPIN


Oleh : Yusep Prihanto*

Tatkala terjadi musibah meninggalnya keluarga Daeng Basse di Makasar akibat kelaparan dan penyakit yang tak tertangani beberapa waktu lalu, sesungguhnya ada sebuah pertanyaan yang menggelitik, di manakah keberadaan para tetangga, terutama para pemimpinnya: Ketua RT, RW, Lurah, Camat, Bupati, anggota DPR/DPRD, para Menteri hingga Presiden, saat peristiwa itu terjadi? Atau tepatnya, di manakah mereka semua ketika keluarga itu tengah dilanda sakit dan tak punya uang untuk berobat sehingga kemudian harus bergumul dengan maut?
Memang ada banyak faktor untuk bisa menjawabnya. Ada banyak argumentasi yang bisa menerangkannya. Bahkan ada banyak alasan dan alibi untuk mengelak dari tanggung jawabnya. Namun adakah hati nurani mampu berbohong?
Ini bukan bermaksud mendramatisasi sebuah peristiwa yang sebetulnya sudah sering terjadi di tempat lain dan di masa lalu. Tetapi dengarlah: "Tiap-tiap kamu adalah pemimpin" demikian Nabi Muhammad SAW bersabda. "Dan setiap kamu akan dimintai pertanggungjawaban tentang rakyatnya. Pemerintah adalah pemimpin dan bertanggung jawab terhadap rakyatnya. Lelaki adalah pemimpin dan bertanggung jawab terhadap keluarganya. Wanita adalah pemimpin dalam rumah suaminya dan bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya (suami dan anak). Pembantu adalah pemimpin dalam menjaga harta majikannya dan bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya". Maka di manakah para pemimpin kita ketika keluarga Daeng Basse kelaparan, sakit dan tak punya uang? Mungkin kita dapat pula menambahkan sabda tersebut menjadi: Tetangga adalah pemimpin bagi tetangga yang lain dan bertanggung jawab terhadap keadaan tetangganya.
Ketika dunia semakin modern dan komunikasi semakin canggih. Ketika sikap individualistis mengisi pikiran setiap orang, ketika pagar "tembok Berlin dan China" rumah kita berdiri angkuh, ternyata semua itu tak membuat sifat-sifat kepedulian bagi pertetanggaan kita semakin baik, tetapi bahkan nyaris hilang. Siapakah yang tahu dan peduli bila ada tetangga, anak buah atau salah seorang yang kita pimpin itu kelaparan, sakit bahkan mati kalau tidak ada yang melaporkan?
Tapi mengapa harus menunggu adanya laporan, mengapa tidak kita sendiri sebagai pemimpin yang berusaha untuk mencari tahu dan peduli dengan nasib orang lain? Mengapa kita tidak mencontoh kisah Menanak batu-nya Khalifah Umar bin Khattab yang berusaha untuk peduli pada rakyatnya. Khalifah ini malam-malam menyamar dan menyelinap ke setiap rumah penduduk untuk mengetahui ada tidak warganya yang kelaparan.
Alkisah tersebutlah di dalam sebuah rumah, seorang anak sedang merintih kesakitan karena perutnya lapar sesudah beberapa hari tidak makan. Sementara ibunya senantiasa mencoba menenangkannya dengan mengatakan makanannya sedang dimasak. Beberapa kali anak itu merengek dan menangis tetapi ibunya terus menghiburnya sampai kemudian anak itu tertidur. Ternyata sang ibu harus berbohong kepada anaknya karena yang dimasak itu adalah batu. Umar pun sedih dan terharu mendengar itu semua. Maka dengan cepat sang khalifah kembali ke rumah lalu memerintahkan anak buahya untuk membawakan sejumlah karung berisi gandum ke rumah ibu dan anak itu.
Bayangkan menanak batu! Di tengah kondisi sosial ekonomi Indonesia yang makin morat marit ini, kasus Daeng Basse hanyalah fenomena gunung es. Bukan mustahil bahwa sesungguhnya banyak dari masyarakat kita yang tidak terdeteksi juga tengah menanak batu. Atau sama sekali tidak menanak apa-apa, karena memang sudah tidak ada apa pun yang bisa dimasak. Ketika harga beras mencapai Rp. 5.000 per liter. Ketika harga minyak tanah Rp. 7.000,- perliter. Ketika konversi kompor gas tidak tuntas. Ketika harga minyak goreng di atas Rp. 10.000,- . Dan ketika mata uang sudah tidak memiliki nilai, apa lagi yang bisa dimasak oleh rakyat?
Barangkali terlalu ekstrim jika kita memimpikan munculnya Robin Hood atau Si Pitung, namun kisah sang khalifah itu mestinya bisa menjadi inspirasi bagi para pemimpin bahwa sesungguhnya sangat berat dan tidak mudah untuk menjadi pemimpin. Seorang pemimpin harus terus bergulat dengan tugas dan tanggung jawabnya selama 24 jam. Bukan mengisi waktu luangnya dengan menebar pesona: bernyanyi lalu menelurkan album, atau memancing dan bersenang-senang, sementara rakyatnya sedang bersusah payah berjuang mengisi perut di tengah harga-harga kebutuhan pokok yang melambung tinggi.
Lalu di mana keberpihakan seorang pemimpin pada rakyatnya, yang sesudah jatuh oleh berbagai musibah, ditimpa pula oleh problema ekonomi yang mencekik? Tampaknya, apa pun alasan yang diberikan - seperti harga minyak dunia yang sudah melebihi 100 dolar per barel, sehingga subsidi harus dihapus - tidak cukup membuat hati rakyat menjadi tenang bahkan semakin pesimis menghadapi masa depan.
Pertanyaan di atas berlaku juga bagi para pemimpin di parlemen yang terhormat. Mana keberpihakan anda pada rakyat yang tengah menggeliat ini? Anda lebih banyak memikirkan kepentingan partai ketimbang kepentingan rakyat. Sebab rakyat tidak begitu penting. Yang lebih penting bagi adalah bagaimana meributkan soal pemilihan Gubernur Bank, Mahkamah Konstitusi, anggota KPU, atau persyaratan calon presiden ketimbang meributkan persoalan sembako yang harganya sudah setinggi langit.
Sebab jika anda memenangkan salah satu kandidat, itu berarti anda dan partai anda telah memenangkan tender dan anda akan selalu kebagian proyek. Kalau pun kemudian anda terlihat ribut dan bertengkar di gedung wakil rakyat, hal itu semata-mata agar anda disebut membela rakyat padahal sebenarnya anda membela kepentingan pribadi dan partai anda. Dan rakyat hanya dipakai ketika anda memerlukannya lima tahun sekali.
Seharusnya para pemimpin bertindak mati-matian demi rakyat. Sebab Islam menghendaki agar para pemimpin masyarakat bersikap patuh secara totalitas dalam setiap waktu dan keadaan. Penyerahan diri seorang pemimpin secara total terhadap kepentingan rakyat dan bangsa akan membawa keselamatan dan keberkahan bagi diri dan masyarakatnya. Oleh sebab itu, pada jaman Khulafaur Rasyidin, kaum muslimin selalu memilih pemimpin yang wara' dan zuhud dan bukan sekedar bersikap flamboyan.
Oleh karena itu ketika Umar bin Khattab diangkat menjadi khalifah berikutnya, beliau berdoa: "Ya Allah, sesungguhnya aku adalah mahluk yang banyak berbuat kesalahan, oleh sebab itu lembutkanlah diriku untuk mengikuti orang-orang yang taat di antara hamba-hamba-Mu dengan tetap berada dalam kebenaran. Karuniakanlah aku ketegasan dalam menghadapi musuh-musuh-Mu dan orang-orang munafik. Ya Allah, sesungguhnya aku ini tergolong orang yang kikir, oleh karena itu jadikanlah aku orang yang dermawan dalam menjalankan kebaikan dalam sikap sederhana, tidak boros dan tidak memubadzirkan sesuatu".
Doa tersebut menunjukan bahwa jika seseorang terpilih sebagai pemimpin, apa pun bentuknya, tidak pantas berbangga diri dengan kemenangannya tetapi justru menyadari kekurangannya. Komitmennya untuk memperjuangkan kepentingan rakyat, terutama berkaitan dengan persoalan ekonomi, haruslah diaplikasikan dalam bentuk kedermawanan, kesederhanaan, ketidakborosan dan ketidakmubadziran pada setiap pengambilan keputusan yang berpihak pada rakyat miskin.
Ironisnya, banyak para pemimpin yang merasa alergi dan kebakaran jenggot mendengar orang lain berbicara soal kemiskinan. Atau merasa malu jika di wilayah kekuasaannya dikatakan masih ada yang miskin, kelaparan, kekurangan gizi, gizi buruk dan makan nasi aking. Bahkan kalau pun ada, semua yang berkaitan dengan kekurangan dan kelemahan wilayahnya akan berusaha ditutupi karena takut kredibilitasnya menurun. Hal ini menunjukkan bahwa mental para pemimpin itu memang tidak peduli dengan masalah kemiskinan.
Maka tak heran jika kemudian muncul kasus Daeng Basse atau kasus Cipondoh yang kemudian ditanggapi oleh para pemimpin dengan sikap mengelak, bahwa kasus itu bukan kasus yang perlu dibesar-besarkan. Mestinya kondisi itu ditanggapi dengan jiwa besar serta ikhtiar keras dan sungguh-sungguh untuk dapat menguranginya. Karena masalah kemiskinan tidak bisa dihadapi hanya dengan basa basi politik, gengsi jabatan maupun berbantah-bantahan tetapi harus dengan sesuatu yang lebih kongkrit dan memberi manfaat bagi rakyat.

* Penulis adalah pemerhati masalah sosial, Ketua Forum Kajian Sosial-Pendidikan (FKSP) tinggal di Tangerang.

No comments: