Wednesday, January 28, 2009

REDEVELOP PENDIDIKAN KESADARAN LINGKUNGAN

Oleh : Yusep Prihanto


Barangkali tak ada kata yang lebih tepat untuk kita ucapkan kepada diri kita kecuali kata "bebal". Kita sudah terantuk batu bukan lagi satu atau dua kali, tapi berkali-kali, dan kita belum juga menengadah. Tahun 2007 lalu kita katakan banjir besar yang menutupi wilayah kita adalah siklus lima tahunan, namun ternyata banjir besar itu datang kembali tahun 2008. Tak urung Presiden pun ikut merasakan getahnya dan fasilitas se-vital bandara Soekarno-Hatta harus terkena imbasnya. Lalu di awal tahun ini sudah berapa banyak wilayah yang terendam banjir.
Itu artinya musibah banjir bukan lagi siklus lima tahunan, mungkin telah berubah jadi siklus tahunan. Bahkan diprediksi bahwa kehadirannya sudah tak terbatas lagi pada ruang dan waktu, artinya kapan pun dan dengan volume air hujan yang sedikit pun, banjir dapat merendam kawasan tertentu.
Fenomena ini tentu saja sangat mengkhawatirkan bahkan boleh disebut darurat, dan karenanya harus segera di atasi. Bukan mustahil di masa depan tidak hanya Jakarta atau Jawa yang akan tenggelam, tapi juga seluruh negeri ini. Penanganannya pun harus komprehensif, bukan sepotong-sepotong. Dan itu butuh kerjasama dari semua pihak serta keberanian untuk berkorban. Sebab masalah ini bukan cuma tanggung jawab pemerintah: banjir adalah urusan seluruh umat manusia dengan alam. Karena itu butuh kearifan dan keseriusan pula dalam mengatasinya.
Jika mau jujur, masalah ini sebenarnya berawal dari kegagalan kita membina hubungan baik dengan alam. Tidak hanya secara transenden tapi juga realitasnya. Selama ini persahabatan kita dengan alam hanya terbatas pada bagaimana memperoleh profit sebesar-besarnya dengan mengeksploitasinya sedemikian rupa demi kepentingan jangka pendek dan nikmat sesaat. Tidak terpikir apakah besok keturunan kita masih dapat menikmati kehidupan lebih baik atau tidak. Pokoknya yang penting enjoyable.
Apalagi kita tidak mengindahkan peringatan-peringatan alam lain seperti gempa bumi atau tsunami, yang begitu mudah dilupakan. Amnesia kita terhadap bencana yang baru lalu tak membuat kita kapok. Bahkan membuat kita makin serakah: pembalakan ilegal, pembangunan hutan-hutan beton dan pemukiman, pereduksian terus menerus daerah resapan air dan taman penghijauan justru makin menjadi-jadi.
Anehnya semua itu kita perparah dengan sikap hidup yang amburadul: membuang sampah sembarangan, membangun bantaran sungai dan mempersempit ruang gerak air. Semua itu harus dibayar dengan ongkos sosial ekonomi yang mahal: tragedi kehidupan manusia yang menjadi sia-sia, akibat dari ketidakmampuan kita belajar pada alam yang seharusnya terkembang jadi guru.
Proses pembelajaran kita terhadap alam itu tidak lantas membuat kita bergerak cepat mencari dan menemukan akar persoalan yang menyebabkan tragedi tersebut untuk kemudian segera mengatasinya. Tetapi justru menundanya hingga kita memaksa pemerintah untuk segera mengatasinya. Padahal, sekali lagi, ini urusan kita bersama.
Barangkali ada beberapa hal yang mungkin bisa dijadikan bahan analisis dan renungan :
1. Sikap individualisme dan egois
Semakin lama kita rasakan semakin lunturnya budaya kerjasama antar sesama. Budaya gotong royong yang sejak dulu dikenal sebagai bagian kehidupan masyarakat kita, telah kehilangan ruhnya. Kepentingan bersama yang dahulu selalu didengung-dengungkan harus berada di atas kepentingan pribadi, kini berbalik arah: kepentingan pribadi di atas segala-galanya.
Ini disebabkan oleh ideologi individulisme yang berkembang di kepala dan membuat kita bersikap egois yang hanya memikirkan diri sendiri bahkan jika perlu menguntungkan diri sendiri. Oleh karena gotong royong dianggap tidak memberi keuntungan dan cenderung membuang-buang waktu, maka ia tampak hambar tak bermakna. Ironisnya kerjasama membangun lingkungan tidak masuk kategori urusan pribadi tapi urusan umum dan bersifat fardhu kifayah: siapa pun yang melakukan yang penting ada.
2. Runtuhnya kesadaran dan peduli lingkungan
Sikap individualisme itulah yang kemudian membuat kita kehilangan sense of environment care. Kesadaran dan kecintaan terhadap lingkungan hanya terbatas pada wacana dan kata-kata, bukan pada tindakan ril. Lihat saja bagaimana sikap kita terhadap saluran air yang mampet dan jalan rusak serta berlubang yang makin melebar seperti kubangan kerbau di muka rumah mentereng atau tempat usaha (perusahaan) kita yang besar. Kita tidak bergeming melihat hal itu. Tak ada usaha apa pun dari kita sendiri untuk memperbaiki, minimal menambalnya. Seolah-olah itu bukan urusan kita.
3. Mengandalkan orang lain atau pemerintah
Oleh karena hal di atas bukan urusan kita, maka kita sengaja membiarkannya. Menunggu sampai ada orang lain atau pemerintah setempat berinisiatif memperbaikinya. Di sini tampak bahwa kita bukan saja tidak memiliki sikap rela berkorban tetapi juga tidak peduli pada keselamatan orang lain.
4. Budaya uang
Kalau pun kita ingin berbuat, tindakan kita hanya terbatas pada bantuan ala kadarnya. Sayangnya perbaikan yang kita lakukan itu harus di barengi oleh sikap mengemis kita. Meski dengan alasan kita tak memiliki cukup dana untuk melakukan perbaikan itu.
5. Kurangnya pendidikan lingkungan hidup
Dahulu guru-guru di sekolah seringkali mengajak para siswanya untuk melaksanakan kerja bakti baik di lingkungan sekolah, sekitar sekolah maupun di tempat-tempat umum. Atau membawa para siswa berkeliling mengenal lingkungan sekitar. Kini kegiatan semacam itu sudah langka. Kita tidak lagi menemui anak-anak sekolah yang bergotong-royong membersihkan tempat-tempat ibadah, lapangan sepak bola atau pasar dan sebagainya.
Kini kegiatan semacam itu telah digantikan oleh kegiatan pengenalan lingkungan yang membutuhkan biaya besar, yakni pergi ke luar daerah atau tempat wisata yang sesungguhnya makin menjauhkan siswa dari lingkungannya sendiri. Di samping itu sekolah pun membuat jarak terhadap lingkungan sekitar yang terhalang oleh pagar tembok yang tinggi. Seolah-olah antar penghuni dua bagian itu tidak memiliki koneksitasnya.
6. Penghijauan berorientasi bisnis
Harus diakui memang ada sebagian kalangan yang menumbuhkan budaya penghijauan: menanam tanaman hias. Sayangnya, bentuk penghijauan semacam ini hanya bersifat temporer dan berorientasi bisnis. Lihat saja misalnya tanaman jenis Anthurium yang harganya bisa mencapai selangit hanya berdasarkan jumlah daunnya. Yang menjadi kontradiksi dalam kaitannya dengan kepentingan penyelamatan lingkungan adalah yang ditanam bukanlah tanaman yang mampu menyerap air, melainkan tanaman-tanaman kecil yang hanya dapat dinikmati secara individual.
Oleh sebab itu sudah selayaknya kita secara bersama-sama merumuskan kembali pembangunan lingkungan yang komprehensif dan bukan sepotong-sepotong. Juga tidak menudingkan kesalahan pada salah satu pihak. Persoalan ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah. Sebab banjir merupakan persoalan seluruh manusia dengan alam. Karenanya itu menjadi tanggung jawab kita semua. Dan perintah Tuhan untuk berlomba-lomba berbuat kebajikan, pada dasarnya bukan hanya terbatas pada manusia, tetapi juga kepada alam.
Meski demikian, kita juga tidak bisa menuding alam sebagai penyebab. Sejatinya, peristiwa alam itu tergantung pada bagaimana manusia bersikap kepadanya. Jika kita mengelola alam dengan baik, maka alam akan memperlakukan manusia dengan baik pula. Demikian sebaliknya. Sikap transenden inilah yang tampaknya sering kita lupakan.
Kita juga tidak pernah belajar dari alam tentang cara bagaimana memperlakukannya dengan baik. Justru sebaliknya, kita malah mengeksploitasinya sedemikian rupa demi kepentingan perut semata. Karenanya yang terjadi kemudian adalah kerusakan lingkungan yang semakin parah. Itulah balasan alam kepada kita. Pelajaran demi pelajaran yang diberikan oleh alam ternyata luput untuk kita jadikan landasan pendidikan, terutama pendidikan lingkungan hidup.

*Penulis adalah pemerhati masalah sosial dan Ketua Forum Kajian Sosial-Pendidikan (FKSP) tinggal di Pondok Aren.

No comments: