Wednesday, January 28, 2009

KETIKA KEBUDAYAAN BERANGKAT TERLALU CEPAT

Oleh : Yusep Prihanto

Tiap kali berbicara kebudayaan, sengaja atau tidak dus sadar atau tidak, kita melulu terbentur dan membenturkan diri pada terminologi Timur-Barat atau setidaknya Tradisi-Modern. Dimana kita memandang dikotomis ini sebagai sebuah analogi yang tak terpisahkan dari kebudayaan. Tentu saja pembagian yang demikian ini bukanlah satu pembagian yang eksak sekali sifatnya. Sebab pembauran antara dua suasana kulturil besar itu terdapat di semua lingkungan kebudayaan, hanya dengan titik berat yang berlainan. [1]
Maka pentingnya mengadakan dialog kebudayaan, bukan saja sekedar upaya menerobos iklim budaya kita yang kian hari kian tak tentu arahnya, tetapi juga secara individual kita diharapkan mampu mengantisipasi wajah kebudayaan kita yang sesungguhnya.
Tentu saja mengutak-utik soal kebudayaan yang demikian universal, kurang bijaklah kiranya hanya menyebut bagian-bagian tertentu yang mungkin dapat mengundang imej tertentu pula sehingga menjadi kurang enak di telinga. Namun, enak atau tidak, kebudayaan tentu saja tidak bisa ditafsirkan sebagaimana beberapa orang buta menebak seekor gajah : setiap orang dipersilakan menafsirkan bagian tubuh gajah yang dipegangnya secara serampangan.
Dulu, kita demikian bersemangat pengantin baru dengan gayanya yang progersif. Kita berteriak lantang: perbanyaklah intelek, tumbuhkan individualis, kumpulkan harta sebanyak mungkin dan tirulah Barat ! Namun di lain sisi kita juga mengibarkan bendera anti satu tiang penuh.
Toh, sebenarnya yang terjadi bukanlah perang antara kubu materialisme dan spiritualisme. Lebih dari itu kita tengah berusaha mencoba merumuskan konsep masa depan yang pada saat itu terasa utopis. Karena memang kita tengah terjepit oleh sistem kolonialisme-imperialisme yang memojokkan kita untuk tetap jongkok.
Kemudian perang dunia kedua datang. Perdebatan terputus. Dan kemerdekaan yang notabene melahirkan Indonesia dan Pancasila, hadir sebagai sintesa sejarah dan juga sintesa kebudayaan. Sebagaimana tertuang dalam Penjelasan UUD 1945 : ... kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah, terhitung sebagai kebudayaan bangsa...
Nah, ini memang bukan kalimat sederhana. Namun pada akhirnya kebudayaan mesti bergantung pada hegemoni sistem politik.
Di masa sesudah kemerdekaan barangkali kita masih belum dapat memaafkan dan melupakan bekas telapak kaki kolonialisme yang selama berabad-abad menempel di dahi. Kita trauma terhadap modernisasi ala imperialisme yang justru menjebak kita dalam kubangan keterbelakangan. Kita masih belum dapat membuka diri, masih merayap dalam sikap apriori, tergesa-gesa mensiasati setiap kemungkinan munculnya musuh eksplisit tersebut.
Bahwa kemudian revolusi belum selesai, itu benar. Idiom-idiom yang mengajak kita pada sebuah sikap bangkit tanpa bantuan, seperti konsep berdikari, kekecewaan terhadap sistem liberalisme yang tak memberi kemajuan, kalimat go to hell with your aids, internasionalisasi yang intens dengan salah satu blok (sosialis-komunis), dilarangnya Manikebu hingga diberangusnya lagu-lagu Koes Plus, adalah lanskap kecil wajah kebudayaan saat itu. Yang menyebabkan kita terjebak dalam situasi kulturil yang kurang menguntungkan.
Demikianlah, sesudah kudeta yang kisruh itu, kita makin sadar bahwa kita tidak boleh terantuk batu kedua kalinya. Maka kita sepakat : Pancasila dipertegas kembali sebagai landasan strategi menuju masa depan.
Tentu saja strategi itu adalah pembangunan, yang pada mulanya dan pada akhirnya merupakan forma kongkret modernisasi. Maka apa yang diobsesikan selama ini sedikit banyak telah kita kecap, kalaupun tak mau disebut terpenuhi. Sebab menurut Mahbub Junaedi : telah muncul di tengah kita gembala sosial baru, kaum modernis dengan perangai jejaka kota, berteriak tanpa was-was "Tradisi, menyingkirlah kalian".[2]
Selama lebih kurang dua dasa warsa, kita memang mengalami proses perjalanan panjang yang demikian singkat tapi melelahkan. Loncatan dari pakai tangan ke pakai sendok-garpu, atau menurut Nehru, dari gerobak ke sepeda, tidak terperi lebih jauh dan dahsyat ketimbang loncatan dari sepeda ke pesawat terbang.[3]
Demikian pula lompatan vertikal yang teramat cepat dari budaya lisan-dengar ke budaya televisi tanpa melaui tahapan budaya membaca, sesungguhnya maha dahsyat. Ini mirip lompatan anak SD kelas tiga ke kelas enam, yang karena sesuatu hal kepintarannya dinyatakan sanggup mengikuti pelajaran di atasnya. Anak itu, setidaknya telah menjadi buah karbitan yang dengan terpaksa sekaligus bangga menerima konsekuensi bahwa ia akan terpesona sekaligus terkejut menghadapi materi pelajaran yang sebelumnya tak pernah diketahuinya mengandung kesulitan atau kemudahan baru. Kecuali jika kemudian ia mampu beradaptasi.
Sementara itu munculnya kecenderungan baru membuat sistem nilai berubah. Kepentingan spiritual sebagai wujud pola tradisional perlahan membentuk pola kepentingan politis tertentu, termasuk di dalamnya material-individual. Konon, ia siap nekat melabrak apa saja yang berada di hadapannya serta menduduki wilayah yang bukan haknya, bahka jika perlu mencopot kedudukan etika moral sekalipun.
Karena yang dihadapi adalah sains dan teknologi kongkret bukan abstrak[4], maka kita ikut terkena getah perkembangan modern tersebut, meskipun juga ikut memetik beberapa buahnya[5]. Tentu karena buah itu meninggalkan kesan yang tak bisa dilepas begitu saja mengingat diktum: sekali sesuatu menimbulkan kenikmatan, ia akan terus menerus diulang.
Lantas bagaimana nasib wujud tradisional ? Di tengah kegamangan dan rutinitas proses produksi sebagai konsekuensi industrialisme-perdagangan maka segala sesuatu jika mengandung nilai materialistik yang dapat dikonsumtif, tampaknya ia dipandang sebagai sebuah benda yang tinggal kenangan belaka. Maka barangkali museumlah tempat yang cocok baginya. Ia diperlakukan sebagai objek yang mesti dibingkai dalam lemari kaca dan bila perlu dipaket menjadi komoditas yang siap dipasarkan untuk kemudian memperoleh keuntungan ekonomi.
Di lain pihak, manusia sebagai pencipta kebudayaan mengalami perubahan yang oleh Emha Ainun Najib disebut telah menjadi fungsi. Fungsi di sini berarti hanya menjadi instrumen dari sebuah sistem besar. Ia berperan sebatas sebagai bentuk intrumental belaka.[6] Akibatnya, kreativitas kebudayaan megalami stagnasi, sebab subyeknya bersama obyek melebur diri menjadi objek yang lebih besar dalam rumah produksi sekaligus konsumsi. Ia diharuskan menghasilkan barang yang itu-itu saja dan menikmatinya tanpa rasa jenuh.
Dari cukilan fenomena itu, muncul keterenyuhan yang mendalam. Kebudayaan kita yang acap disubya-subya selama ini hanya menjadi barang tontonan belaka. Di abad dimana orang tak pernah mengira bahwa akan muncul peradaban internet, manusia Indonesia telah mampu melahirkan kreativitas arsitektur megah semacam Borobudur, sementara kehidupan mereka lebih pada aspek spiritual.
Tetapi spiritual atau bukan, setidaknya mereka telah memiliki tingkat berpikir yang cukup tinggi. Sayang, kemampuan ini tidak diikuti dengan tingkat etos kerja yang sama dengan mereka yang tinggal di Barat.
Mungkin itu nasib buruk nenek moyang kita, tetapi membandingkan seperti itu tampaknya sesuatu yang sia-sia. Karena kita tidak akan sanggup menemukan benang merah di dalamnya. Sebab tugas kita bukan menyesali warisan itu dengan menuding berbagai bentuk kesalahan masa lalu.
Sesungguhnya strategi kebudayan yang telah disusun, boleh dikata cukup ampuh. Paling tidak dengan mengingat bahwa usaha mengakumulasi kebinekaan dalam wadah tunggal kepribadian bangsa bukanlah perkara enteng. Dengan membandingkan perjalanan etnis bangsa lain pula, kita dapat memetik hikmah bahwa masing-masing tubuh kebudayaan memiliki asumsi politik tertentu, yang jika tidak diberi peluang mengembangkan diri akan menimbulkan kegelisahan sosial-politik dan mengguncang stabilitas nasional sebagai penyangga berkembangnya kebudayaan. Setidaknya tiap kebudayaan itu mendapat porsi dan prioritas yang sama dalam menggunakan fasilitas yang disediakan oleh sistem politik.
Tetapi rumusan terpenting yang mesti digarap dalam mengantisipasi situasi kulturil dunia yang memasuki masa pasca industri adalah konsep humanisme yang realistis, bukan filosofis. Hal ini menyangkut proses mengembalikan manusia sebagai pencipta kebudayaan dari fungsi obyek ke fitrahnya yang subyektif.
Tentu saja ini bukan pekerjaan sederhana yang mesti dituntaskan dalam tempo singkat. Apalagi sangat mustahil mengembalikannya ke muasal alamiah. Sebab menurut Parsudi Suparlan, sekali suatu kebudayaan yang dimiliki masyarakat berubah, dan khususnya kalau perubahan itu disebabkan oleh masuknya sistem ekonomi dan teknologi, maka tidak akan ada sesuatu kekuatan apa pun yang dapat mengubah lagi pada corak atau tingkat kebudayaan sebelum kebudayaan itu mengalami perubahan.[7]
Tugas berat selanjutnya adalah pembenahan kebudayaan ke dalam dan keluar yakni dengan mengintrospeksi diri. Oleh karena eksistensi kita masih dalam realitas yang ambigu, maka seleksi terhadap bid'ah-bid'ah yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa perlu dilakukan dengan cermat.
Di sini peran generasi muda merupakan faktor yang tidak bisa diabaikan, sebab di tangan merekalah letak kebudayaan masa depan itu. Membekali mereka dengan jawaban filosofis tentu saja tidak cukup, sebab sekali lagi seperti kata Romo Mangunwijaya, yang kita hadapi adalah sains dan teknologi kongkret bukan abstrak. Maka untuk menghadapinya harus melalui jalur pendidikan agar mereka mampu mendeteksi tanda-tanda jaman secara tepat.
Sehingga manakala kebudayaan sudah dirasa berangkat terlalu cepat, tidak akan ada lagi orang tua yang dengan tenang berpesan : "Nak, kutitipkan warisan ini kepadamu. Tolong kau rawat baik-baik. Sebab selain ia merupakan identitas keluarga kita, ia juga berkhasiat menyembuhkan penyakit para tetangga yang telah jenuh dengan tetek bengek modernisasi. Dan yang paling penting ia akan menambah pendapatan kita, yang sebagian besar untuk mengembalikan cicilan kredit perabot rumah".




[1] Prof. AMW Pranarka: Situasi Kulturil Dunia Dewasa ini, CSIS, 1976)
[2] Tempo, 1971
[3] Optimis, 1982
[4] Romo Mangunwijaya, Optimis, Mei 1980.
[5] Prof. AMW Pranarka, 1976.
[6] Media Indonesia, September 1990.
[7] Optimis, Mei 1981

No comments: