Wednesday, December 22, 2010

Parodi: Bukan Siapa dan Bukan Biasa
Minggu, 4 April 2010 | 07:53 WIB

Ilustrasi. Oleh Samuel Mulia

KOMPAS.com - Saya sedang membaca sebuah profil pebisnis muda yang sukses di sebuah majalah. ”Saya bukan siapa-siapa. Berasal dari sebuah desa kecil di kota Sragen. Nyaris SMA pun tak lulus karena keterbatasan dana dan sebagainya. Tetapi beruntung saya lahir dari keluarga yang berlimpah kasih sayang.”

Saya sangat tertarik sekali dengan kalimat bukan siapa-siapanya itu. Saya tak tahu, apakah kalimat itu bernada rendah hati, rendah diri, tak percaya diri, atau lainnya. Satu hari sebelum saya membaca profil pebisnis itu, saya makan siang bersama seorang teman lama. Ia mulai mengeluh karena pasangan hidupnya yang sudah berusia 43 tahun itu kehilangan kepercayaan diri karena tidak sekaya teman-teman pergaulannya.

Gara-gara itu, sudah lama suami teman lama saya itu mengundurkan diri dari lingkup pergaulannya dan enggan bertemu dengan orang lain, terutama kalau berhadapan dengan mereka yang sukses di usia muda.

Panik

Saya mengalami perasaan seperti kasus kedua di atas, terutama saat menjelang setengah abad seperti sekarang ini. Apalagi mengetahui dan melihat langsung bermunculannya pengusaha muda di usia tiga puluh tahun, yang sudah memiliki bisnis segala rupa. Dari pengeboran minyak sampai batu bara. Tanpa melupakan yang memiliki stasiun tivi, bahkan bisa membeli perusahaan asing.

Di usia lima puluh kurang tiga tahun, saya cuma punya rumah tinggal seluas enam puluh meter persegi, mobilnya bernama taksi, bisnisnya juga batu. Batu apung, maksudnya. Nurani saya berteriak. ”Usahanya minyak juga, bukan? Minyak jelantah, maksudnya.” Tivi juga punya. Tivi kabel, gitu loh.

Melihat itu semua, saya jadi frustrasi, dan seperti pebisnis muda di atas, saya berucap berkali-kali saya ini kok cuma biasa-biasa saja. Kemudian, pertanyaan segera muncul. Seperti biasa. Jadi, kalau bukan siapa-siapa, yang siapa-siapa itu seperti apa? Kalau biasa-biasa saja, maka yang bukan biasa itu seperti apa?

Sang pebisnis muda asal Sragen di atas mengatakan bahwa ia nyaris tak lulus SMA. Membaca itu saya jadi tertawa dan teringat akan keinginan saya untuk malah tidak bersekolah sama sekali. Buat saya sekolah itu kok yaa… buang waktu saja. Mengapa harus ke sekolah kalau bisa belajar di rumah? Apakah saya kemudian menjadi bukan siapa-siapa kalau tak lulus dari sekolah favorit? Sekolah anak pejabat?

Tetapi begitulah ”hukuman” yang diberikan kehidupan ini. Yang itu bukan siapa-siapa, yang ini siapa-siapa. Yang gitu luar biasa, yang gini biasa-biasa. Mungkin gara-gara itu, banyak manusia merasa cari pasangan hidup itu harus yang koaya roaya, berdarah biru, yang menyejahterakan lahir meski acap kali menghancurkan batin. Karena buat kehidupan, yang mentereng lebih meyakinkan. Mau ambruk setelah itu? Itu urusan belakang.

Berusaha tidak panik

Maka, setelah membaca profil pebisnis muda itu, saya mendapat sebuah tenaga baru untuk berhenti berpikir bahwa saya ini biasa-biasa saja, bahwa saya bukan siapa-siapa. Kalau banyak orang lahir di kota besar, yaa… kota kecil menjadi luar biasa. Seperti cabe rawit. Kecil, tetapi mampu membuat orang nyap-nyapan.

Kalau saya tidak lulus SMA, itu bukan hal yang biasa-biasa. Yang lain lulus, saya putus, itu luar biasa. Apalagi sudah putus sekolah, malah jadi pebisnis dan mengalahkan yang lulus dan menjadi siapa-siapa.

Saya akan melatih melarang otak saya berpikir, kalau saya ini biasa dan bukan siapa-siapa. Hanya karena tidak kaya dan bukan turunan ningrat, atau bukan anak pemilik sejuta perusahaan. Bahwa bisa menjadi tidak kaya di tengah orang superkaya, dan bertahan untuk tidak tergoda menjadi kaya dan tak tergoda menjadi siapa-siapa, dalam jalan yang tidak benar, itu luar biasa.

Saya pikir lagi, saat Sang Pencipta mengizinkan saya lahir di dunia ini, Ia tidak melakukannya dengan cara yang biasa-biasa saja. Setiap manusia diberikan keunikan. Masalahnya, kok yaaa… manusianya yang sama-sama hanya merupakan hasil ciptaan malah melakukan perbandingan nilai.

Beberapa tahun lalu, saya mendatangi ayah. Tentu sebelum ia berpredikat almarhum. Saya bilang padanya, seharusnya ia bangga punya tiga anak. Satu anak perempuan, satu anak laki, dan satu laki keperempuanan yang meliuk seperti cacing. Sesuatu yang bukan biasa-biasa saja. Karena tetangga dan orang lain cuma bisa punya anak laki dan perempuan.

Kalau seandainya ayah saya diwawancarai oleh majalah yang mewawancarai pebisnis muda itu, apakah ia akan merasa bahwa ia biasa-biasa saja, luar biasa atau merasa bukan siapa-siapa karena selain bukan keturunan ningrat, ia punya anak ”cacingan”? Karena ayah saya sudah almarhum, jadi saya tak bisa mendapatkan jawabannya. Bagaimana kalau saya saja yang menanyakan Anda, kalau seandainya Anda jadi ayah saya?