Wednesday, December 22, 2010

Pak Harto Memang Berstamina Tinggi dan Keras Kepala….
OPINI Linda | 22 December 2010 | 10:42 605 24



7 dari 12 Kompasianer menilai Aktual. Orang yang satu ini tak habis-habisnya dipuji, dikecam, disayang, maupun kembali disesali banyak orang. Sampai akhir hayatnya, yang bercucuran air mata maupun yang tetap menanggapi dengan sinis, seakan tersebar di mana-mana. Sebagai seorang wartawan, dulu, saya selalu berupaya bersikap terukur dan menghindari penilaian bias terhadapnya. Banyak juga hal yang tidak saya sukai dari Pak Harto, Presiden yang menjabat begitu lama. Ada juga kebijakannya yang saya anggap masih berada di nilai tertinggi ketimbang pengganti-penggantinya.

Pak Harto, benarkah ia seorang yang otoriter? Yang jelas, kemauannya memang keras. Keyakinannya terhadap sesuatu memang sering menggebu-gebu meski tak dinyatakan terang-terangan di depan khalayak. Harus dilaksanakan, harus terlaksana, harus direalisasikan. Staminanya memang stamina tentara. Tak mengenal lelah, dan betul-betul ‘orang lapangan’. Itu yang saya tangkap darinya.

Ada segi ‘human interest’ yang ingin saya ceritakan sedikit tentangnya. Tentu ini hasil dari kasak-kusuk , pengamatan dan sesekali investigasi kecil-kecilan melalui orang-orang terdekatnya. Soal keras kepalanya, memang adakalanya membuat orang pusing tujuh keliling. Masalah kunjungan ke Bosnia, misalnya. Sampai malam terakhir di Zagreb ia masih dibujuk untuk tidak mengunjungi tempat berbahaya itu. Pak Harto tetap tak bergeming. Ia tetap berangkat pada tanggal 13 Maret 1995. Semula, di pesawat ia tak sudi memakai baju anti peluru berwarna hitam kelam yang dibawa dari Indonesia. Beratnya 20 kg. Baju anti peluru yang disediakan UNPROFOR menurut salah satu anggota Paspampres ketika saya tanya, masih kurang canggih ketimbang yang dibawa dari Indonesia. “Kalau dengan pistol biasa saja, memang tidak tembus. Tapi dengan senjata panjang, baju dari UNPROFOR bisa nembus,” ujar sumber saya saat itu.

Kembali ke baju anti peluru yang tak mau disentuh Pak Harto, semuanya berjumlah empat. Dua buah dipakai oleh pengawal pribadi, sisanya diletakkan di jendela tempat Pak Harto duduk di pesawat. Ketika dipaksa tetap memakai baju anti peluru setelah keluar pesawat, Pak Harto tetap tidak bersedia. “Kan pengawal-pengawal saya yang lain sudah pakai, saya nggak usah lagi ah!,” katanya tegas.

Pulang dari ‘kunjungan ngeri’ Bosnia, setibanya di Jakarta tanggal 15 Maret ia disarankan untuk beristirahat. Pak Harto kembali tak menurut. Ia malah pergi ke dokter gigi di kawasan Menteng dekat rumahnya, lalu sorenya berangkat main golf. Esoknya, hari Sabtu, saat disarankan untuk bersantai di Cendana karena sudah melakukan perjalanan panjang dan melelahkan, ia malah memerintahkan ajudan dan para pengawalnya untuk pergi dengannya ke lapangan golf di kawasan Ciganjur yang sangat jauh dari rumah. Malamnya ia nonton wayang di Taman Mini Indonesia Indah. Beristirahatkan dia setelah itu? Ternyata tidak. Minggu pagi usai sholat subuh para pengawal sudah bersiap diri lagi mengantar sang Presiden ke Tapos, untuk memeriksa koleksi sapi-sapinya.

Sumber saya yang terdekat dengan Pak Harto langsung mengusap keringat di dahi dan geleng-geleng kepala. “Pengawal kan teler juga tuh! Dikiranya dari perjalanan ke luar negeri yang begitu menegangkan, ada istirahatnya. Ternyata Presiden jalan terus !,” ujarnya. Dan, yang lucunya lagi, urusan keras kepala yang lain adalah tentang pemilihan baju. Pak Harto punya baju golf kesayangan, dari bahan kaos. Sudah agak memudar warnanya tapi ia suka sekali memakai blus itu. Kalau disarankan blus lain, tetap yang satu itu yang diambilnya lagi. Pernah suatu ketika, sengaja blus itu diletakkan di lemari agak disimpan di tempat tumpukan bawah. Lalu kata sumber saya, “Eh, tetap saja dia cari, dan diletakkan lagi, dia pindahkan lho di bagian atas agar bisa dipakai lagi…hahahhaha…!”